China Larang Total Kripto, USDT dan USDC Masuk Radar Investigasi

Liputan6.com, Jakarta - China kembali mengetatkan sikapnya terhadap aset digital. Bank Sentral China atau People’s Bank of China (PBOC) menegaskan bahwa seluruh aktivitas terkait kripto, termasuk stablecoin, dinyatakan ilegal.

Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan multi-lembaga pada 28 November lalu, menyusul meningkatnya kembali aktivitas mata uang virtual di Negeri Tirai Bambu.

Dikutip dari coinmarketcap, Jumat (5/12/2025), dalam pertemuan tersebut, otoritas finansial, keamanan siber, hingga lembaga peradilan China menegaskan bahwa kripto membawa risiko besar bagi stabilitas keuangan dan kedaulatan moneter. Yang menarik, fokus utama kini bukan lagi Bitcoin atau aset volatil lainnya, melainkan stablecoin.

PBOC memperingatkan bahwa stablecoin seperti Tether (USDT) dan USD Coin (USDC) tidak memenuhi standar identifikasi pengguna dan aturan anti pencucian uang. Keduanya disebut berpotensi menjadi objek investigasi berikutnya.

Menurut Roger Huang, penulis Would Mao Hold Bitcoin, stablecoin—khususnya USDT—masih menjadi sarana utama perdagangan kripto di China sejak larangan total diberlakukan pada 2021. Banyak trader menggunakannya karena likuiditas tinggi dan pasangan perdagangan yang luas, terutama di bursa-bursa kecil yang masih beroperasi secara bawah tanah.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Meski dilarang, aktivitas kripto bawah tanah di China disebut meningkat sepanjang tahun ini. Pemerintah kini menyiapkan koordinasi lebih ketat, berbagi data antar lembaga, dan memperkuat penegakan hukum.

Roger Huang menjelaskan bahwa aktivitas penggalangan dana kripto saat ini bergantung pada prinsip “don’t ask, don’t tell”. Masyarakat umum cenderung menahan diri karena peringatan keras dari Partai Komunis, meski sebagian investor tetap melihat kripto sebagai alternatif dari pasar saham dan properti yang sedang melemah.

Situasi ekonomi China yang tengah mengalami deflasi, tingginya pengangguran muda sekitar 20 persen, serta jatuhnya harga rumah membuat sebagian warga mencari peluang baru melalui aset digital. Namun, pakar lain seperti Bonnie Girard mengingatkan bahwa larangan pemerintah kemungkinan semakin diperketat seiring munculnya laporan kerugian besar dan kasus kriminal. Meski begitu, banyak warga tetap nekat menggunakan VPN untuk mengakses platform kripto.

China juga tengah mempercepat pengembangan yuan digital atau e-CNY sebagai bentuk kontrol penuh terhadap sistem keuangan digitalnya. Mata uang digital ini sudah digunakan untuk belanja ritel, pembayaran gaji, hingga transaksi perusahaan. Setelah bertahun-tahun uji coba, e-CNY kini mencatat transaksi bernilai triliunan yuan dan diproyeksikan menggantikan uang tunai serta layanan pembayaran populer seperti Alipay dan WeChat Pay.

Profesor Eric Lee dari UNSW Sydney menilai pemerintah China melihat stablecoin dan kripto sebagai ancaman karena memungkinkan arus modal keluar tanpa pengawasan. Kebijakan terkait aset digital, kata Lee, sangat dipengaruhi kepentingan Partai Komunis dalam menjaga stabilitas sosial dan finansial.

Menurut Lee, tujuan utama Beijing bukan menantang dominasi dolar AS, melainkan menjaga kontrol dan mendukung perdagangan global China. e-CNY bahkan disebut menjadi alat praktis untuk mempertahankan surplus perdagangan dan permintaan ekspor.