Liputan6.com, Jakarta - Antusiasme terhadap stablecoin mengguncang Hong Kong. Hal ini seiring Hong Kong bersiap meluncurkan sistem perizinan untuk kripto yang lebih stabil. Namun, pihak berwenang memperingatkan agar tidak terlalu membesar-besarkan peran di masa depan dalam sistem keuangan.
Mengutip Yahoo Finance, ditulis Kamis (31/7/2025), unit digital ini telah disebut-sebut sebagai cara lebih murah dan mudah melakukan transaksi moneter, dan popularisnya semakin meroket. Nilainya lebih dari USD 270 miliar atau Rp 4.427 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.398) yang beredar di seluruh dunia.
Tidak seperti bitcoin yang naik turun secara drastis, nilai sebagian besar stablecoin tetap stabil dengan dikaitkan dolar AS dan komoditas seperti emas.
Stablecoin bermanfaat secara internasional karena memungkinkan pembayaran lintas batas yang cepat dan berbiaya rendah, praktis di pasar dengan mata uang yang terbatas antara lain Argentina dan Nigeria.
Token yang dibeli dan dijual di bursa digital juga digunakan sebagai cara aman bagi investor kripto untuk menyimpan keuntungan mereka, alih-alih dikonversi menjadi uang tunai.
"Ukuran pasar stablecoin telah mencapai tingkat di mana arus kas memiliki implikasi geopolitik,” kata Global Blockchain Leader di perusahaan konsultan EY, Paul Brody.
Ia menuturkan, lebih dari 99% aset stablecoin berada dalam dolar AS, jadi untuk negara lain jika Anda bukan pemain, dapat dibekukan.
The US House of Representatives atau Dewan Perwakilan Rakyat AS bulan ini mengesahkan undang-undang yang mengkodifikasi penggunaan stablecoin yang menurut Senator Bill Hagerty akan memastikan dominasi dolar AS.
Peraturan stablecoin Hong Kong akan diberlakukan pada Jumat, sebagai bagian dari upaya untuk memposisikan diri sebagai pusat kripto Asia karena dukungan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk sektor ini memicu kebangkitan global.
Terlalu Idealis
"Peluangnya sangat besar,” ujar CEO RD Technologies, Rita Liu.
Adapun yang perusahaan pembayaran Rita Liu sedang mengembangkan stablecoin berdenominasi dolar Hong Kong dalam uji coba yang dijalankan pemerintah. “Ada gelombang legitimasi industri aset digital. Hong Kong berusaha menjadi yang terdepan dalam gelombang itu,” ujar Liu.
Sementara itu, Brody mengatakan, perdagangan kripto telah dilarang sejak 2021 di China daratan yang menganggapnya terlalu mirip perjudian.
Ia dan yang lainnya berpendapat stablecoin bisa lebih diterima oleh Beijing, yang telah bereksperimen dengan mata uang digital bank sentralnya sendiri, "e-yuan".
Para pejabat mungkin ingin melihat terlebih dahulu bagaimana perkembangan di wilayah semi-otonom Hong Kong.
Sejauh ini, "beberapa lusin lembaga" telah menyatakan minatnya untuk menerbitkan stablecoin atau meminta informasi lebih lanjut, ujar Kepala Otoritas Moneter Hong Kong, Eddie Yue, pekan lalu.
Namun, ia meminta publik untuk "mengendalikan euforia" atas RUU baru ini. "Karena "pada tahap awal, kami paling banyak akan memberikan beberapa lisensi penerbit stablecoin," ujar dia.
"Beberapa diskusi tentang stablecoin mungkin terlalu idealis," Yue memperingatkan, terutama seputar "potensinya untuk mengganggu sistem keuangan arus utama".
Hype tersebut dapat menggelembungkan harga saham perusahaan, tambahnya, sebuah poin yang digaungkan oleh Lily King dari perusahaan kripto Cobo.
"Beberapa aplikasi mungkin dipengaruhi oleh strategi hubungan masyarakat, karena berita terkait stablecoin sering kali mendorong sentimen pasar," ujar dia.
Kontribusi Stablecoin
Liu dari RD, mantan manajer senior di platform pembayaran Tiongkok Alipay, merasa sebagian dari hype itu palsu, dan sebagian lagi nyata", didorong oleh "harapan masyarakat terhadap industri ini".
Stablecoin menyumbang sekitar tujuh persen dari kapitalisasi pasar mata uang kripto global, menurut CoinGecko.
Jika pada akhirnya menjadi "utama" dalam keuangan, Hong Kong dapat menikmati semacam "keunggulan sebagai penggerak pertama,” kata Jonas Goltermann dari Capital Economics.
Jepang dan Singapura sudah meregulasi stablecoin, sementara Korea Selatan sedang menjajaki kemungkinan tersebut.
Meskipun penerbit stablecoin biasanya meyakinkan pembeli mata uang mereka didukung oleh cadangan devisa riil, stablecoin tersebut tidak bebas risiko, dan terkadang menyimpang dari nilai yang dipatok karena fluktuasi pasar, masalah teknologi, atau masalah dengan aset acuan.
Ada juga risiko stablecoin akan menjadi "produk yang lebih niche" jika bank menemukan cara untuk menghasilkan uang terprogram mereka sendiri, kata Goltermann.
"Masuk akal bagi Hong Kong untuk mencoba apa pun. Hong Kong sedang mengalami penurunan, karena alasan yang tidak berkaitan dengan teknologi. Ini sebagian besar tentang politik, dan hubungannya dengan Tiongkok," ujar dia kepada AFP.
"Stablecoin bukanlah solusi ajaib yang dapat memperbaiki masalah tersebut. Tapi bukan berarti stablecoin tidak dapat membantu."