Bitcoin Melambung saat Ekonomi Amerika Serikat Makin Lesu

1 day ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Harga Bitcoin melambung sekitar 4 persen lebih tinggi dibandingkan pekan lalu. Sebuah kabar baik bagi aset digital ini, tetapi jadi peringatan bagi ekonomi Amerika Serikat (AS). 

Melansir laman Coindesk, kenaikan ini terjadi pekan lalu saat pasar tengah bersiap menunggu bank sentral AS, The Fed memangkas suku bunga acuan. Ekspektasi itu membuat aset berisiko seperti saham dan Bitcoin lebih menarik.

Momen terpenting terjadi saat Amerika Serikat merilis indeks harga konsumen (IHK) yang sedikit lebih tinggi dari perkiraan. Menjadi tanda inflasi bakal lebih kuat dari perkiraan awal.  

Dari sisi ketenagakerjaan, lapangan kerja di AS terpangkas hingga 1 juta menurut data yang dikeluarkan pada awal pekan ini. Jadi revisi penurunan lapangan kerja terbesar dalam sejarah Negeri Paman Sam. 

Menyusul laporan ketenagakerjaan bulanan yang dirilis pada akhir pekan lalu. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja, AS hanya menambahkan 22.000 lapangan kerja pada Agustus 2025 dengan tingkat pengangguran naik menjadi 4,3 persen.

Di sisi lain, angka pengangguran naik dari 27 ribu menjadi 263 ribu, tertinggi sejak Oktober 2021.

Bitcoin Kian Menguat

Dengan latar belakang ini, bitcoin yang dianggap sebagai aset berisiko oleh Wall Street malah terus menguat. Tembus hingga USD 116 ribu pada Jumat (12/9/2025), dan hampir menutup gap CME futures di 117.300 dari Agustus 2025.

Itu terjadi lantaran para pedagang juga menawar aset berisiko terbesar dalam bentuk ekuitas. Terlihat dari indeks S&P 500, yang ditutup pada rekor tertinggi untuk hari kedua dengan harapan penurunan suku bunga.

Aksi harga tetap konstruktif, dengan higher low terbentuk dari titik terendah September di USD 107.500. Rata-rata pergerakan 200 hari telah naik ke USD 102.083, sementara Harga Realisasi Pemegang Jangka Pendek (Short-Term Holder Realized Price) yang sering digunakan sebagai support di pasar bullish, naik ke rekor USD 109.668.

Saham Perusahaan Bitcoin Masih Stagnan

Namun, aksi harga positif mingguan Bitcoin tidak membantu Strategy (MSTR), perusahaan treasury Bitcoin terbesar, yang sahamnya relatif stagnan selama sepekan. Para pesaingnya justru berkinerja lebih baik, yakni MARA Holdings (MARA) dengan 7 persen dan XXI dengan (CEP) 4 persen.

Strategi (MSTR) berkinerja lebih buruk dibandingkan Bitcoin tahun ini, dan terus berada di bawah rata-rata pergerakan 200 harinya, saat ini USD 355. Pada penutupan Kamis (11/9/2025) di USD 326, saham tersebut menguji level support jangka panjang penting yang terlihat pada September 2024 dan April 2025.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

Perusahaan Kripto Ini Gagal Masuk Indeks S&P 500

Sebelumnya, Perusahaan kripto MicroStrategy tidak dapat bergabung dengan indeks S&P 500 setelah rebalance pada Jumat, 5 September 2025.

Mengutip Yahoo Finance, ditulis Minggu (7/9/2025), di sisi lain, bursa yang tawarkan saham dan aset kripto Robinhood Market bergabung di indeks S&P 500.

Indeks S&P 500 adalah daftar 500 perusahaan publik terbesar di AS, dan sejauh ini hanya dua perusahaan kripto yang berhasil masuk ke dalam indeks.

MicroStrategy Ditolak

Dipimpin oleh salah satu pendiri dan ketua eksekutif Michael Saylor, perusahaan perbendaharaan aset digital yang sebelumnya merupakan perangkat lunak perusahaan ini memegang 636.505 BTC senilai sekitar USD 70 miliar atau Rp 1.148 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.410).

Meskipun investor Bitcoin populer Lark Davis telah memprediksi awal pekan ini perusahaan tersebut dapat bergabung dalam daftar, berita tersebut ternyata mengecewakan.

Saham MSTR ditutup pada USD 335,87, naik 2,53% dalam sehari. Namun, saham tersebut turun 2,64% menjadi USD 326,99 setelah penutupan bursa.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |