Liputan6.com, Jakarta Analis Reku Fahmi Almuttaqin menilai, ketidakpastian global akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) berpotensi memperkuat daya tarik aset kripto seperti Bitcoin (BTC) sebagai safe haven dan lindung nilai terhadap pelemahan mata uang fiat serta volatilitas pasar saham.
Namun, dia juga mengingatkan bahwa volatilitas jangka pendek tetap harus diwaspadai, mengingat respons pasar terhadap kebijakan tarif impor yang berubah-ubah.
“Investor kripto disarankan untuk memantau data inflasi, perubahan sentimen risk-off, dan rotasi modal lintas aset yang bisa terjadi akibat eskalasi perang dagang di semester kedua 2025,” kata Fahmi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya menegaskan tidak akan memperpanjang tarif khusus negara yang berakhir awal Agustus 2025. Trump juga mengumumkan tarif baru sebesar 50 persen untuk impor tembaga, serta ancaman tarif hingga 200 persen untuk produk farmasi jika perusahaan tidak memindahkan produksi ke AS dalam setahun.
Selain itu, India dan Indonesia akan dikenakan tarif tambahan 10 persen karena tergabung dalam BRICS. Uni Eropa pun terancam mendapat tarif baru terkait ketegangan atas pajak dan denda terhadap perusahaan teknologi asal AS.
Lonjakan Harga Tembaga
Fahmi mencatat, kebijakan ini telah memicu lonjakan harga tembaga dan tekanan pada saham sektor farmasi. Di sisi lain, langkah Trump menambah ketidakpastian perdagangan global, mengingat AS baru mencapai kesepakatan dagang dengan Inggris dan Vietnam serta menunda sebagian negosiasi dengan China.
“Negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Asia lainnya termasuk Indonesia telah menerima pemberitahuan tarif 25-40 persen, dengan ancaman tarif lebih tinggi jika ada tindakan balasan dari negara-negara mitra dagang tersebut,” ujar Fahmi.
Apabila diterapkan, kebijakan tarif tersebut dapat memicu ketidakstabilan baru di pasar global, memperbesar risiko stagflasi, dan mendorong inflasi akibat kenaikan harga impor barang utama.
Sementara itu dari sisi teknikal, data on-chain metric menunjukkan tren akumulasi jangka panjang Bitcoin terus berlanjut. Rasio outflow/inflow bulanan turun ke 0,9 atau terendah sejak akhir bear market 2022, yang mengindikasikan lebih banyak Bitcoin ditarik dari bursa dibandingkan yang masuk.
“Meskipun tekanan jual jangka pendek cukup intens di salah satu exchange global, Bitcoin berhasil bertahan di rentang 100.000-110.000 dolar AS, yang kemungkinan disebabkan terserapnya tekanan jual tersebut oleh tren akumulasi yang sedang terjadi,” kata Fahmi.
Aksi Akumulasi Besar-besaran
CryptoQuant juga mencatat pemindahan lebih dari 19.400 BTC dari wallet berusia 3-7 tahun ke wallet institusional, yang mengindikasikan aksi akumulasi besar-besaran oleh pelaku institusi.
“Kombinasi rasio inflow/outflow rendah dan pergerakan aset institusional ini memperkuat argumen bahwa level harga saat ini merupakan dasar yang kuat, dan jika pola siklus sebelumnya berulang, kita mungkin akan menyaksikan rally ke tingkat harga baru di semester kedua 2025,” kata Fahmi.
Perkembangan ini menunjukkan investor jangka panjang, terutama institusional, sedang mengakumulasi dengan tenang dan menggunakan periode konsolidasi sebagai peluang membeli.
“Ini mendukung tesis bahwa level harga sekitar 100.000 dolar bukan sekadar support teknikal, melainkan zona akumulasi fundamental terbaru bagi reli berikutnya,” ujar Fahmi.
Bagi investor kripto, catat Fahmi, kondisi ini bisa menjadi sinyal untuk mulai meningkatkan posisi secara bertahap melalui strategi dollar-cost averaging (DCA) selama harga berada di kisaran ini. Namun, manajemen risiko tetap penting karena volatilitas jangka pendek masih mungkin terjadi seiring tekanan jual yang berlanjut.