Liputan6.com, Jakarta - Bank Sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BOK) menyarankan agar penggunaan stablecoin yang berbasis mata uang won dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal, BOK merekomendasikan agar stablecoin hanya diterbitkan oleh bank-bank komersial yang sudah diawasi secara ketat.
Menurut Deputi Gubernur Senior BOK, Ryoo Sang-dai, pendekatan bertahap ini dilakukan agar dampak stablecoin terhadap kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan dapat dikelola dengan baik.
Langkah ini juga sejalan dengan kebijakan Presiden Korea Selatan yang baru, Lee Jae Myung, yang berkomitmen menjalankan janji kampanyenya untuk mengizinkan penerbitan stablecoin oleh perusahaan-perusahaan.
Partai Demokrat yang dipimpin Lee juga tengah mengusulkan undang-undang untuk mengatur kerangka hukum terkait stablecoin, dengan tujuan menjaga daya saing Korea Selatan di tengah perkembangan pesat industri aset digital global.
“Untuk tahap awal, sebaiknya bank saja yang menerbitkan stablecoin berbasis won, karena mereka berada di bawah pengawasan yang ketat. Setelah itu, barulah sektor non-bank bisa ikut serta berdasarkan pengalaman yang ada,” ujar Ryoo dikutip dari news.bitcoin.com, Rabu (25/6/2025).
Ia juga menegaskan bahwa penerbitan stablecoin bisa berdampak besar terhadap sistem pembayaran dan arah kebijakan moneter negara. Karena itu, Bank Sentral merasa perlu ada sistem perlindungan yang kuat agar pasar keuangan tetap stabil dan pengguna tetap terlindungi.
Ke depan, Bank Sentral akan mengadakan diskusi lebih lanjut dengan bank-bank besar untuk mempersiapkan uji coba tahap kedua mata uang digital bank sentral (CBDC). Uji coba tahap pertama, yang dimulai pada akhir 2023 bersama Bank for International Settlements (BIS), akan segera berakhir dalam waktu dekat.
USDT Dominasi Pasar Stablecoin, Nilai Pasokan Tembus Rp 2,5 Kuadriliun
Sebelumnya, SDT yang diterbitkan Tether terus mendominasi pasar Stablecoin. Hal ini seiring pasokan sentuh titik tertinggi.
Melansir Cryptonews, Rabu (25/6/2025) pasokan USDT telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa mencapai USD 156,1 miliar (Rp2,5 kuadriliun). 90% dari pasokan tersebut terkonsentrasi hanya pada dua jaringan, yaitu Ethereum dan Tron.
Lebih dari separuh stablecoin USDT, atau 50,47% di antaranya kini berada di Tron (TRX), sementara hampir 40% ada di Ethereum (ETH).
Sementara itu, kurang dari 10% pasokan USDT didistribusikan ke blockchain lain, termasuk BNB Chain, Solana, Cosmos, Avalanche, dan lainnya. Stablecoin USDC yang diterbitkan Circle telah mendapatkan lebih banyak daya tarik di banyak rantai yang lebih kecil.
Misalnya, Solana menampung USDC senilai hampir USD 7,5 miliar (Rp122,1 triliun) dibandingkan dengan USDT yang hanya USD 2,3 miliar (Rp37,4 triliun). Namun, meskipun popularitas USDC meningkat, dominasi USDT sebagian besar tetap stabil.
Saat ini, USDT menyumbang 62,10% dari pasokan stablecoin di seluruh rantai, sementara USDC menguasai sekitar 24%. Namun, dominasi USDT menurun menjelang akhir tahun 2024, bertepatan dengan penerapan peraturan stablecoin MiCA Uni Eropa.
Alih-alih mencoba mematuhi peraturan MiCA, Tether memilih untuk menarik diri sepenuhnya dari pasar. Tether telah menghentikan penerbitan Stablecoin EURT, serta menghadapi delisting di beberapa bursa utama.
Bagaimana Masa Depan USDT?
Namun, kepemimpinan Tether tidak akan mengalah, menolak untuk memberlakukan transparansi cadangan penuh.
Di sisi lain, pengesahan Undang-Undang GENIUS AS dapat menimbulkan masalah baru bagi Tether, di mana ia menguasai pangsa pasar yang dominan.
Namun, para ahli tidak yakin bahwa Undang-Undang GENIUS akan memaksa Tether keluar dari pasar AS.
Saat ini, fokus strategis Tether tetap berada pada Asia, di mana Tether terus menjadi pilihan utama untuk pembayaran kripto, terutama pada jaringan Tron.