Liputan6.com, Jakarta - Michael Saylor kembali menegaskan komitmen MicroStrategy untuk terus menambah kepemilikan Bitcoin, meski harga saham perusahaan (MSTR) tertekan hingga mencapai titik terendah dalam lima bulan terakhir. Langkah ini menunjukkan keyakinan kuat perusahaan terhadap masa depan Bitcoin sebagai aset utama jangka panjang.
Dikutip dari coinmarketcap, Senin (22/9/2025), sebagai Ketua Eksekutif, Saylor menekankan bahwa strategi akuisisi Bitcoin tidak akan berhenti meski volatilitas pasar atau tekanan terhadap saham perusahaan meningkat. Ia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap Bitcoin, baik melalui media sosial maupun strategi perbendaharaan perusahaan, yang menempatkan kripto ini sebagai inti dari aset cadangan MicroStrategy.
Kepemilikan Bitcoin MicroStrategy kini tercatat melebihi 2% dari total pasokan global. Posisi besar ini memberi pengaruh signifikan pada sentimen pasar, khususnya bagi investor institusional. Pembelian terbaru juga memperkuat cadangan strategis perusahaan, meskipun harga saham tertekan oleh meningkatnya aksi jual singkat (short selling). Saylor bahkan menuding adanya kampanye misinformasi yang memperburuk persepsi pasar terhadap saham MSTR.
Bagi pasar yang lebih luas, langkah MicroStrategy dipandang sebagai katalis penting bagi partisipasi institusional di aset kripto. Strategi akuisisi yang konsisten memunculkan diskusi baru tentang ketahanan model investasi berbasis Bitcoin di level korporasi.
Saylor sendiri menegaskan bahwa strategi mereka adalah memanfaatkan volatilitas pasar. Setiap kali harga Bitcoin turun, MicroStrategy melihatnya sebagai peluang untuk menambah portofolio. Namun, strategi agresif ini juga membawa risiko tersendiri jika kelak terjadi aksi jual besar-besaran.
“Kami akan terus mengakuisisi Bitcoin, bahkan di tengah volatilitas. Ini adalah strategi jangka panjang terbaik kami,” tegas Michael Saylor.
Bukan Ritel, Dana Institusional Jadi Penggerak Utama Reli Bitcoin
Sebelumnya, Bitcoin kembali menunjukkan performa kuatnya dengan menembus level USD 117.000 setelah Bank Sentral AS, Federal Reserve (Fed), memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Pergerakan harga yang signifikan ini didukung oleh arus dana institusional yang terus mengalir melalui produk ETF (Exchange-Traded Fund).
Bitcoin diperdagangkan pada level USD 117.182 pada Jumat (19/9/2025) pagi. Tantangan terdekat saat ini adalah mengubah level USD 117.000 menjadi support baru yang kokoh. Jika level ini berhasil dipertahankan, pasar menilai ada potensi besar bagi Bitcoin untuk menembus target berikutnya, yaitu level USD 120.000.
Vice President Indodax Antony Kusuma menjelaskan, lonjakan harga koin kripto terbesar ini mencerminkan pergeseran kekuatan pasar yang fundamental.
“Investasi kripto, terutama Bitcoin, saat ini tidak hanya bergantung pada sentimen ritel, tetapi sudah masuk ke dalam kerangka investasi institusi global. Arus masuk ETF menjadi bukti nyata bahwa aset digital semakin diterima sebagai instrumen keuangan utama,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/9/2025).
Meskipun demikian, Antony juga mencatat adanya sikap hati-hati dari investor ritel. Data on-chain menunjukkan penurunan pada New Address Momentum, yang mengindikasikan lebih sedikit alamat baru yang masuk ke pasar.
"Kehati-hatian ritel ini wajar, karena volatilitas Bitcoin memang tinggi. Namun, di sisi lain, aksi dari institusi justru menjadi fondasi utama reli kali ini,” jelasnya.
Antony menambahkan, level psikologis USD 120.000 akan menjadi tonggak penting. Jika berhasil dilewati, bukan hanya kepercayaan investor yang semakin tinggi, tetapi juga potensi masuknya likuiditas baru dari institusi akan semakin besar.
Sinyal Positif dari Kebijakan Moneter Global
Indodax menilai bahwa arah jangka panjang Bitcoin tetap positif, khususnya di tengah perubahan kebijakan moneter global.
"Kita harus melihat gambaran besar. Penurunan suku bunga menandakan likuiditas kembali mengalir. Dalam sejarah, situasi ini selalu menjadi katalis bagi pertumbuhan aset digital," kata Antony.
Arus dana ke ETF Bitcoin pekan ini mencatat tren positif, memperkuat pandangan bahwa investor besar tidak terpengaruh oleh gejolak jangka pendek. Antony menggarisbawahi perbedaan sikap antara investor ritel dan institusi, di mana institusi memiliki visi investasi jangka panjang, sementara ritel cenderung terjebak dalam pola fear and greed.
Fenomena ini juga menjadi pelajaran penting bagi investor kripto di Indonesia.
"Bagi para pengguna Indodax, pergerakan ini memberi sinyal bahwa strategi akumulasi jangka panjang, seperti DCA (Dollar-Cost Averaging), lebih relevan daripada sekadar mengejar keuntungan harian," helas Antony.
Jika tren arus masuk institusional terus berlanjut, kapitalisasi pasar Bitcoin berpotensi mencapai level tertinggi baru, yang juga akan memberikan dampak positif pada altcoin.
Masa Depan Bitcoin dan Investor Indonesia
Minat investor lokal tetap tinggi, terbukti dengan jumlah investor Indodax yang mencapai lebih dari 9 juta, dengan hampir 2 juta anggota baru sepanjang tahun ini. Aktivitas transaksi di platform juga tetap stabil, mencerminkan kepercayaan yang konsisten terhadap aset digital di Indonesia.
"Pasar akan terus memantau langkah The Fed berikutnya. Jika siklus pemangkasan suku bunga berlanjut, maka ruang pertumbuhan Bitcoin semakin terbuka," Antony menegaskan.
Ia juga menekankan pentingnya literasi finansial. "Investor Indonesia harus memahami bahwa volatilitas adalah bagian dari perjalanan Bitcoin. Dengan pemahaman yang benar, risiko bisa dikelola dan peluang bisa dimaksimalkan."