Musim Hujan tapi Cuaca Panas? Ini Penjelasan Fenomena Cuaca Tak Biasa

11 hours ago 1

Liputan6.com, Jakarta Ketika musim hujan tiba, banyak orang berharap akan merasakan udara yang lebih sejuk dan segar setelah berbulan-bulan menghadapi panasnya musim kemarau. Namun, kenyataan yang sering terjadi justru sebaliknya. Alih-alih dingin dan sejuk, suhu udara terasa tetap panas, bahkan kadang semakin gerah meskipun hujan turun hampir setiap hari.

Fenomena ini tentu saja membuat sebagian orang bertanya-tanya, mengapa musim hujan yang seharusnya membawa kesejukan justru terasa panas? Perubahan cuaca yang ekstrem dan tidak menentu sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor ilmiah yang saling berinteraksi. Salah satunya adalah meningkatnya kelembapan udara akibat curah hujan yang tinggi, yang justru bisa membuat tubuh kita merasa lebih gerah.

Tak hanya itu, faktor urbanisasi dan pemanasan global turut memperparah kondisi ini. Di daerah perkotaan, suhu udara cenderung lebih panas karena minimnya ruang terbuka hijau dan banyaknya permukaan beton yang menyerap panas. Ketika hujan turun, uap air yang menguap dari permukaan jalan atau bangunan akan meningkatkan kelembapan udara. Berikut ini penjelasan terkait cuaca yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (22/4/2025).

Diperkirakan curah hujan lebat akan terus terjadi hingga bulan Maret nanti sebelum memasuki musim pancaroba atau musim panas.

Prediksi Hujan Bulanan Menurut BMKG

Gambar yang ditampilkan merupakan peta prediksi curah hujan di Indonesia untuk bulan Mei 2025 yang dirilis oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Peta ini menggunakan skala warna untuk menunjukkan intensitas curah hujan dalam satuan milimeter (mm), mulai dari kategori rendah (0–20 mm) hingga sangat tinggi (>500 mm). Warna cokelat menunjukkan wilayah dengan curah hujan sangat rendah, sementara warna hijau tua hingga biru kehijauan menunjukkan curah hujan tinggi hingga sangat tinggi.

Dari peta tersebut, dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Indonesia bagian barat seperti Sumatra, Jawa, dan Bali diprediksi akan mengalami curah hujan yang rendah hingga menengah (20–150 mm). Wilayah Jawa bagian selatan dan Nusa Tenggara bahkan didominasi oleh warna cokelat dan oranye yang menandakan curah hujan sangat rendah. Sebaliknya, beberapa wilayah di Indonesia timur seperti Papua, Maluku, dan sebagian Sulawesi diprediksi akan mengalami curah hujan tinggi (300–500 mm), bahkan beberapa daerah di Papua bagian utara menunjukkan potensi curah hujan yang sangat tinggi (>500 mm).

Peta ini juga dilengkapi dengan batas provinsi dan penanda wilayah luar negeri, serta orientasi arah mata angin untuk mempermudah pembacaan lokasi. Informasi ini sangat penting bagi sektor pertanian, kehutanan, dan kebencanaan karena dapat membantu dalam merencanakan langkah antisipasi terhadap kekeringan atau banjir. Update terakhir dari data ini adalah pada 1 April 2025, dan sumber datanya berasal dari model prakiraan ECMWF-cor yang biasa digunakan BMKG dalam pemodelan iklim dan cuaca.

Kenapa Udara Tetap Panas Saat Musim Hujan?

Banyak orang bertanya-tanya, mengapa saat hujan turun hampir setiap hari, cuaca justru terasa lebih panas dan gerah dari biasanya? Bukankah seharusnya hujan membuat udara menjadi lebih sejuk dan segar? Nyatanya, fenomena cuaca yang satu ini bukanlah hal yang aneh, dan ternyata ada alasan ilmiah di baliknya.

Salah satu penyebab utama udara terasa panas saat musim hujan adalah tingginya kelembapan. Ketika hujan turun, air menguap kembali ke udara dan menyebabkan tingkat kelembapan meningkat drastis. Akibatnya, tubuh kita kesulitan mengeluarkan keringat melalui penguapan, padahal itu adalah mekanisme alami tubuh untuk menurunkan suhu. Karena penguapan terganggu, kita pun merasa gerah dan tidak nyaman, meskipun suhu sebenarnya tidak terlalu tinggi.

Tak hanya itu, tutupan awan yang tebal pada musim hujan juga memainkan peran besar. Awan-awan ini tidak hanya membawa hujan, tetapi juga memerangkap panas yang dipancarkan dari permukaan bumi. Alih-alih membiarkan panas lepas ke atmosfer, awan menyimpannya di sekitar kita, terutama saat malam hari. Akibatnya, suhu udara tetap hangat bahkan setelah hujan reda. Fenomena ini juga diperparah oleh kondisi lingkungan di daerah perkotaan. Permukaan jalan, gedung, dan beton menyerap panas sepanjang hari dan melepasnya perlahan di malam hari. Inilah yang dikenal dengan istilah urban heat island, atau pulau panas perkotaan.

Di sisi lain, perubahan iklim global juga ikut berperan. Pemanasan global telah mengacaukan pola cuaca alami, termasuk musim hujan. Suhu yang lebih tinggi di seluruh dunia membuat intensitas hujan meningkat, namun tidak serta merta menurunkan suhu udara. Justru kombinasi hujan dan panas inilah yang menciptakan cuaca lembap dan gerah seperti yang kita rasakan sekarang. Terakhir, minimnya vegetasi di sekitar kita juga menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan. Pohon dan tanaman sebenarnya memiliki peran penting dalam menyejukkan udara, baik melalui proses transpirasi maupun sebagai peneduh alami. Ketika ruang hijau semakin berkurang, panas pun lebih mudah terserap dan tertahan di lingkungan, menyebabkan udara makin terasa panas meski hujan turun.

Efek Rumah Kaca dan Polusi Udara

Seiring berkembangnya zaman dan semakin majunya peradaban manusia, tantangan terhadap kelestarian lingkungan pun semakin kompleks. Di antara berbagai persoalan yang dihadapi dunia saat ini, dua isu yang sangat erat kaitannya dan memiliki dampak serius terhadap kehidupan manusia adalah efek rumah kaca dan polusi udara. Kedua fenomena ini menjadi penyebab utama perubahan iklim global yang kini semakin sulit untuk diabaikan.

Apa Itu Efek Rumah Kaca?

Efek rumah kaca adalah proses alami yang sebenarnya penting untuk menjaga suhu bumi agar tetap hangat dan layak huni. Namun, aktivitas manusia dalam beberapa dekade terakhir telah memperparah proses ini. Ketika gas-gas seperti karbon dioksida (CO₂), metana (CH₄), dan dinitrogen oksida (N₂O) dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah berlebihan—umumnya dari pembakaran bahan bakar fosil, industri, pertanian, serta deforestasi—maka gas-gas tersebut membentuk "selimut" yang memerangkap panas matahari. Akibatnya, suhu rata-rata bumi meningkat secara signifikan dan memicu pemanasan global.

Pemanasan global sendiri telah menyebabkan berbagai konsekuensi serius, mulai dari mencairnya es di kutub, naiknya permukaan air laut, hingga perubahan cuaca ekstrem yang tak bisa diprediksi. Ini semua merupakan dampak langsung dari efek rumah kaca yang tidak terkendali.

Polusi Udara: Musuh Tak Terlihat yang Mengancam Kesehatan

Bersamaan dengan meningkatnya efek rumah kaca, polusi udara juga menjadi ancaman nyata bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Polusi udara terjadi ketika zat-zat berbahaya masuk ke atmosfer dan mencemari kualitas udara yang kita hirup. Sumber utamanya bisa berasal dari kendaraan bermotor, industri, pembakaran sampah, hingga aktivitas rumah tangga.

Zat-zat seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida (NO₂), serta partikel halus (PM2.5 dan PM10) dapat menyebabkan gangguan pernapasan, memperburuk kondisi penderita asma, bahkan meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru-paru. Polusi udara juga berkontribusi terhadap pembentukan smog dan hujan asam, yang tidak hanya merusak kesehatan, tapi juga mempercepat kerusakan lingkungan.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |