Tempe Aman Dikonsumsi, Klaim Bahaya Kedelai GMO Dinilai Menyesatkan

8 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Belakangan ini, masyarakat dibuat resah oleh konten di media sosial yang menyebut konsumsi tempe berbahan kedelai impor dapat memicu kanker. Konten tersebut mendasarkan klaimnya pada dua hal: bahwa semua kedelai impor adalah hasil rekayasa genetika (GMO), dan kedelai GMO mengandung residu glyphosate—zat yang terdapat dalam herbisida.

Isu ini memunculkan pertanyaan besar: apa sebenarnya kedelai GMO? Bagaimana dampak residu glyphosate terhadap kesehatan manusia? Dan apakah proses pengolahan tempe seperti perebusan dan fermentasi dapat mengurangi jumlah residu tersebut?

Tempe telah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Selain murah, lezat, dan mudah ditemukan dari restoran hingga warung sederhana, tempe juga terkenal sebagai sumber protein, vitamin B12, serta berbagai nutrisi penting lainnya. Banyak penelitian ilmiah, baik dari dalam maupun luar negeri, telah membuktikan manfaat kesehatan tempe. Oleh karena itu, klaim yang menyebut tempe berbahaya mendapat perhatian serius dari para pakar dan pemangku kepentingan.

Mengutip Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2023, GMO adalah organisme yang materi genetiknya dimodifikasi menggunakan teknik rekayasa genetika modern. Kedelai GMO dikembangkan untuk meningkatkan hasil panen, ketahanan terhadap hama, serta efisiensi produksi pangan di tengah tantangan global.

“Masyarakat Indonesia sudah puluhan tahun mengonsumsi beraneka pangan produk rekayasa genetika. Seperti roti, biskuit, mie instan yang berbahan gandum GMO. Ataupun jagung, kentang, tomat, yang bibitnya dari rekayasa genetika. Dan juga tempe dan tahu dari kedelai impor yang merupakan hasil rekayasa genetika. Sepanjang yang saya baca, belum ada penelitian atau bukti klinis kuat bahwa produk rekayasa genetika menyebabkan kanker,” jelas Prof Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan IPB sekaligus Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia.

Makanan GMO telah memenuhi penilaian keamanan ketat

Prof Ahmad menambahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa makanan GMO yang beredar di pasar internasional telah melalui penilaian keamanan ketat dan tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia. “Tidak ada efek pada kesehatan manusia yang ditunjukkan sebagai akibat dari konsumsi makanan tersebut oleh masyarakat umum di negara-negara tempat makanan itu disetujui,” ujarnya.

Menurutnya, bibit hasil rekayasa genetika justru dirancang untuk memiliki keunggulan dibanding bibit konvensional, termasuk mengurangi kebutuhan pestisida dan herbisida. “Produksi pangan kalah cepat dengan pertumbuhan penduduk, apalagi dengan perubahan iklim dan ancaman hama. Pangan hasil rekayasa genetika dipilih agar mampu mengatasi hambatan tersebut dan memberikan manfaat lebih baik,” lanjutnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor kedelai Indonesia pada 2024 mencapai 2,676 juta ton, naik 17,68% dari tahun sebelumnya. Sementara produksi kedelai lokal hanya 558.600 ton dan terus menurun. Kedelai impor, yang mayoritas GMO, telah digunakan sebagai bahan baku tempe dan tahu selama lebih dari 25 tahun di Indonesia tanpa ada bukti ilmiah yang mengaitkannya dengan penyakit serius.

Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui turnbackhoax.id juga menegaskan bahwa produk kedelai GMO yang dikonsumsi masyarakat sudah dipastikan aman oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Kepada seluruh pihak, apakah praktisi kesehatan, akademisi, atau influencer, kami menghimbau agar memberikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan dengan data dan fakta jelas. Jangan sampai masyarakat disuguhi informasi menyesatkan. Lebih dari 150 ribu perajin tempe bisa terdampak akibat hoaks ini. Apalagi tempe adalah warisan budaya bangsa kita,” tegas Prof Hardinsyah, Ketua Umum Forum Tempe Indonesia (FTI).

Aturan ketat penggunaan herbisida tertentu

Terkait kekhawatiran residu glyphosate, para ahli menegaskan bahwa penggunaan herbisida tersebut telah diatur ketat oleh badan pengawas seperti USDA, EPA, FDA di Amerika Serikat, serta EFSA dan ECHA di Uni Eropa. Sampai saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan residu glyphosate pada kedelai GMO membahayakan kesehatan manusia.

Lebih lanjut, proses pembuatan tempe seperti pencucian, perendaman, pengasaman, perebusan, dan fermentasi juga dinilai mampu mendegradasi kandungan kimia yang mungkin ada. Bahkan, keberhasilan jamur Rhizopus spp. dalam fermentasi tempe menjadi indikator bahwa kedelai tidak terpapar bahan berbahaya dalam kadar tinggi.

Tempe jadi salah satu komponen MBG

Sementara itu, tempe kini menjadi salah satu komponen dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah untuk kelompok rentan seperti anak sekolah, ibu hamil, dan lansia. Tempe dipilih karena kandungan proteinnya yang tinggi, harganya terjangkau, serta sudah menjadi makanan akrab bagi masyarakat.

“Tempe itu sebenarnya tidak diwajibkan juga, tapi sudah muncul dengan sendirinya. Dengan harga yang terjangkau, sudah menjadi preferensi masyarakat, dan menghidupkan UMKM setempat. Manfaat tempe juga sangat baik untuk meningkatkan imun anak. Oleh karena itu, tempe merupakan bagian dari menu yang luar biasa,” ujar Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS, Staf Khusus Badan Gizi Nasional sekaligus Guru Besar IPB.

Forum Tempe Indonesia juga memastikan kualitas tempe lokal terus ditingkatkan agar memenuhi standar keamanan pangan. “**FTI sejak berdiri pada 2008 sangat fokus menaikkan kelas perajin tempe. Saat ini masyarakat dapat menemukan perajin tempe bersertifikat higienis yang telah kami kurasi di www.mytempe.id,**” ujar M. Ridha, Sekjen FTI.

Dengan edukasi dan informasi yang tepat, diharapkan masyarakat tidak lagi mudah terpengaruh hoaks. Tempe, sebagai superfood asli Indonesia, terus berperan penting dalam pemenuhan gizi sekaligus menggerakkan ekonomi lokal.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |