Strategy, Perusahaan Pemegang Bitcoin Terbesar Catat Laba Belum Terealisasi USD 14 Miliar

8 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan Strategy milik Michael Saylor mencatatkan laba yang belum terealisasi sebesar USD 14,05 miliar atau Rp 228,01 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.233) pada kuartal II 2025. Perseroan mencatat laba belum terealisasi karena kenaikan harga bitcoin dan perubahan akuntansi terkini.

Mengutip Yahoo Finance, Selasa (8/7/2025), laba yang belum terealisasi tersebut sebagian diimbangi oleh beban pajak tangguhan terkait sebesar USD 4,04 miliar atau Rp 65,58 triliun. Hal itu disampaikan Perseroan dalam pengajuan Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (AS) pada Senin, 7 Juli 2025 waktu setempat.

Ini adalah minggu pertama perusahaan yang sebelumnya dikenal sebagai MicroStrategy Inc, tidak membeli token tambahan sejak April. Strategy memiliki sekitar USD 65 miliar atau sekitar Rp 1.055 triliun dalam bitcoin, sehingga menjadikannya pemegang korporat kripto terbesar.

Michael Saylor telah mengubah pembuat perangkat lunak perusahaan yang dulunya sedang kesulitan menjadi proksi bitcoin melalui penjualan saham biasa dan saham preferen serta penawaran utang.

Pada Senin pekan ini, perusahaan itu juga mengumumkan penambahan program penjualan di pasar untuk putaran ketiga saham preferen yang mulai dijual awal tahun ini untuk membantu menandai pembelian bitcoin.

Strategy membeli sekitar USD 6,8 miliar atau Rp 110,39 triliun dalam tiga bulan yang berakhir pada 30 Juni 2025.

Hasil kuartalan Strategy meski mungkin akan menempatkannya dalam kelompok tertentu bersama perusahaan seperti Amazon Inc dan JPMorgan Chase & Co yang laba operasinya akan melampaui USD 10 miliar atau Rp 162,35 triliun pada kuartal lalu, perusahaan itu diantisipasi hanya akan membukukan pendapatan sebesar USD 112,8 miliar dari bisnis perangkat lunaknya, menurut analis yang disurvei oleh Bloomberg News.

Adopsi Perubahan Akuntansi

Perusahaan itu akan merilis hasil kuartal kedua pada Agustus. Saham Strategy telah melonjal lebih dari 3.300% sejak Saylor mulai membeli bitcoin pada pertengahan 2020 sebagai lindung nilai terhadap inflasi. Bitcoin naik 1.000% selama periode sama, sementara S&P 500 telah naik 115%. Saham itu naik 40% pada kuartal kedua karena S&P 500 naik 11%.

Pada kuartal pertama, Strategy mengadopsi perubahan akuntansi yang mengharuskan penilaian perusahaan bitcoin pada harga pasar.

Strategy dan sesama pembeli korporat Bitcoin kini menyadari perubahan yang belum terealisasi yang sering kali menghasilkan perubahan besar dalam laba. Strategy membukukan rekor kerugian USD 4,2 miliar atau Rp 68,19 triliun pada kuartal pertama yang menyebabkan bitcoin turun 12%.

Sebelum perubahan akuntansi, Strategy telah mengklasifikasikan kepemilikan bitcoin mirip dengan aset tidak berwujud seperti paten dan merek dagang. Penetapan itu memaksa Strategy untuk secara permanen menurunkan nilai kepemilikannya ketika harga bitcoin turun di bawah nilai tercatat sebelumnya. Keuntungan hanya dapat diakusi ketika token dijual.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

93% Investor Bitcoin Cuan, Meski Harga BTC Tertahan di Zona Konsolidasi

Sebelumnya, harga Bitcoin (BTC) masih menunjukkan kekuatan di tengah koreksi jangka pendek yang melanda pasar kripto. Berdasarkan data platform analitik blockchain IntoTheBlock, lebih dari 93% pemegang Bitcoin saat ini berada dalam posisi “In the Money” alias sedang menikmati keuntungan.

Mengutip U.Today, Senin (7/7/2025), tak hanya itu, dominasi Bitcoin terhadap pasar kripto secara keseluruhan juga meningkat pesat hingga menyentuh angka 64%, menurut CoinMarketCap. Metrik ini menggambarkan proporsi kapitalisasi pasar Bitcoin dibandingkan total kapitalisasi seluruh aset kripto yang beredar.

Peningkatan dominasi ini menandakan bahwa BTC mengalami penurunan yang lebih kecil atau bahkan kenaikan harga, dibandingkan aset kripto lainnya (altcoin). Fenomena ini sekaligus mencerminkan pergeseran sentimen investor ke arah Bitcoin sebagai aset yang dianggap lebih aman di tengah volatilitas pasar.

Namun di sisi lain, permintaan terhadap Bitcoin justru tercatat mengalami kontraksi. Data dari CryptoQuant menunjukkan bahwa dalam 30 hari terakhir, terjadi penurunan permintaan bersih sebesar 895.000 BTC. Penurunan ini cenderung menahan efek bullish yang biasanya didorong oleh pembelian institusional.

Meskipun aksi akumulasi oleh investor besar—seperti perusahaan Strategy (MicroStrategy)—masih berlangsung, pertumbuhan permintaan tidak cukup untuk mengangkat harga secara signifikan.

Bitcoin Terjebak di Persimpangan Tren

Kondisi pasar global juga menunjukkan sinyal kontras. Di saat indeks saham AS seperti S&P 500 dan Nasdaq Composite mencetak rekor tertinggi pada penutupan Jumat lalu, Bitcoin justru belum mampu mengikuti reli tersebut.

Selama paruh pertama tahun 2025, harga BTC memang sudah naik sekitar 15%. Namun, angka ini masih jauh dari ekspektasi pelaku pasar yang terbiasa melihat lonjakan besar dalam dunia kripto. Salah satu alasan yang mungkin adalah menurunnya antusiasme investor ritel, sehingga pergerakan harga lebih banyak didorong oleh aksi para "paus" atau pemegang besar.

Per hari ini, Bitcoin diperdagangkan di kisaran USD 108.081. Dari sisi teknikal, grafik mingguan menunjukkan kecenderungan netral. Jika tidak ada pemicu baru dalam waktu dekat, Bitcoin kemungkinan besar akan bergerak datar dalam kisaran sempit USD 107.000 hingga USD 110.000.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |