Surabaya, CNN Indonesia --
Bupati Jombang, Jawa Timur (Jatim), Warsubi, akhirnya buka suara menanggapi gelombang protes warga soal melonjaknya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga ratusan persen.
Sebelumnya, sejumlah warga sebelumnya mendatangi kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sambil membawa uang receh sebagai bentuk protes atas kenaikan pajak yang disebut mencapai ratusan persen.
"Saya memahami sepenuhnya, urusan pajak sering kali menjadi beban pikiran bagi masyarakat. Terutama bagi warga yang penghasilannya rendah, pajak kadang-kadang dianggap sebagai tambahan tekanan di tengah kebutuhan hidup yang terus meningkat," kata Warsubi, Rabu (13/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyatakan akan melakukan revisi perda tentang pajak dan retribusi daerah. Ia juga menjanjikan tidak akan ada kenaikan pajak apapun di tahun 2026.
"Saya juga dengan tegas memerintahkan Bapenda Jombang untuk mengawal kebijakan ini di lapangan. Dan saya pastikan, dalam revisi Peraturan Daerah yang akan datang, tidak akan ada kenaikan pajak apapun pada tahun 2026. Ini komitmen pemerintah daerah untuk melindungi kepentingan rakyat," kata dia.
Selain itu, dia menjelaskan kenaikan PBB saat ini yang dipermasalahkan adalah buah pendataan ulang pajak yang dilakukan pemerintah daerah. Hal itu bukan untuk menambah beban, melainkan memastikan besaran pajak sesuai dengan kondisi lapangan.
"Pendataan ini justru untuk memastikan agar pengenaan pajak benar-benar sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga adil bagi semua pihak," ujarnya.
Menanggapi protes warga, Warsubi pun menyebut Pemkab Jombang akan menyiapkan sejumlah kebijakan keringanan.Beberapa di antaranya seperti pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memenuhi syarat.
Kemudian pihaknya juga menerapkan penghapusan denda pajak mulai 1 Agustus hingga 31 Desember 2025, serta diskon hingga 35 persen untuk BPHTB pada semua jenis transaksi.
"Bagi masyarakat yang merasa nilai pajaknya kurang tepat, saya tekankan, jangan ragu untuk menyampaikan keberatan ke Bapenda. Kami sudah menyiapkan tim khusus yang akan memproses setiap keberatan secara cepat, transparan, dan profesional," kata dia.
Warsubi menyebut, kebijakan pajak ini sebelumnya tercantum pada perubahan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 Pemkab Jombang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan sebagai tindak lanjut rekomendasi Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
"Hal ini sesuai dengan pasal 99 Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 dan pasal 128 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 yang menjelaskan bahwa apabila bupati tidak melakukan perubahan berdasarkan hasil evaluasi dan surat pemberitahuan, bupati akan mendapatkan sanksi," jelasnya.
Seorang warga Pulolor, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Fattah Rochim melakukan aksi membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perdesaan (PBB-P2) menggunakan uang koin. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes karena lonjakan pajak yang disebut mencapai nyaris 400 persen.
Fattah menyebut awalnya PBB-P2 rumahnya hanya dipatok sekitar Rp400 ribu per tahun pada 2023. Namun, tagihan PBB miliknya melonjak menjadi Rp1,2 juta pada 2024 dan terus kembali naik menjadi Rp1,3 juta 2025. Menurutnya, kenaikan itu tidak pernah disosialisasikan secara jelas oleh pemerintah.
"Kami itu protes karena dari pajaknya yang langsung tinggi ya. Dari 2023 itu kan masih sekitar kurang Rp400 ribu lah ya per tahun. Tahu-tahu kok ini tahun 2024 menjadi Rp1.238.428. Dari sinilah yang saya maksud, saya pernah protes waktu itu," kata Fattah kepada CNNIndonesia.com, Selasa (12/8).
Ia mengaku pernah mempertanyakan kebijakan ini kepada pemerintah desa dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jombang pada 2024 silam. Namun, jawaban yang ia terima, dinilainya, tidak memuaskan.
"Saya tanya [yang menghitung] appraisal itu siapa? Saya tanya kepala desa. Terus ini apa? Tolong saya minta untuk kebijakan ini siapa yang buat? 'Ya nanti kita evaluasi'. Artinya evaluasi itu evaluasi apa," ujarnya geram.
Saat itu Fattah mengaku hanya dijanjikan evaluasi. Namun, setahun berselang informasi yang ia dapat malah kembali naiknya PBB rumahnya menjadi Rp1,3 juta.
"Saya tunggu-tunggu di 2025 kok naik lagi menjadi Rp1.325.000 berarti kan naik Rp100.000, disitu saya jengkel," ucapnya.
Selain kenaikan tarif, Fattah juga terkejut ketika mengetahui adanya denda 1 persen per bulan. Akibatnya, total pajak yang harus dibayarkan membengkak menjadi lebih dari Rp2,5 juta.
Sebab jengkel, dan tak memiliki cukup uang, ia terpaksa memecahkan celengan yang sudah ditabung anaknya sejak SMP hingga kuliah.
"Saya bingung, terus akhirnya saya ngambil celengan anak saya itu yang mulai dari SMP sampai sekarang sudah tiga. Nah, terus akhirnya saya bawa ke sana [Bapenda] uang itu kita hitung hanya sekitar Rp2 juta. Akhirnya saya barubisa bayar PBB tahun 2024," katanya.
Menurut Fattah, kebijakan ini bukan hanya memberatkan dirinya, tetapi juga ribuan warga lain. Ia menyebut ada sekitar 5.000 warga yang sudah menyampaikan keberatan ke Bapenda.
"Terlalu berat, bukan hanya saya. Ternyata ada 5.000 yang melakukan keberatan sudah di Bapenda," ucapnya.
Fattah menilai pemerintah sebaiknya mengembalikan besaran PBB seperti pada 2022. Ia tidak mempermasalahkan kenaikan asal hal itu wajar dan bukan lonjakan berkali-kali lipat.
"Naik ya yang pantas sajalah, enggak usah appraisal segala macam. Kalau ingin mencari pajak jual-beli itu BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) ya jangan menaikkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Menaikkan NJOP kan sama dengan menaikkan BPHTB-nya," ujar dia.
(frd/kid)