Liputan6.com, Jakarta Kita telah mendengar bahwa pernikahan baik untuk kesehatan kita. Lagi pula, memiliki seseorang di sisi kita dapat berarti dukungan emosional, sosial, dan finansial. Namun, bagaimana jika gagasan ini ditentang oleh bukti baru yang menunjukkan bahwa pernikahan mungkin bukan perlindungan utama terhadap demensia?
Faktanya, sebuah studi baru mengungkapkan bahwa tidak menikah dapat memiliki dampak yang mengejutkan dalam mengurangi risiko demensia. Dihimpun dari Brightside, studi terbaru menganalisis data dari lebih dari 24.000 orang dewasa yang lebih tua selama 18 tahun.
Ketika para peserta pertama kali bergabung dalam studi, beberapa sudah mengalami gangguan kognitif ringan. Menariknya, mereka yang tidak menikah menunjukkan kemungkinan yang lebih rendah dari kondisi mereka untuk berkembang menjadi demensia penuh dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang menikah.
Sepanjang studi, beberapa peserta kehilangan pasangan mereka. Dan mereka yang menjadi janda memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami demensia daripada mereka yang tetap menikah.
Para peneliti memperhitungkan berbagai faktor, termasuk usia, jenis kelamin, ras, pendidikan, dan penanda kesehatan fisik dan mental lainnya. Namun, ada satu pola konsisten yang menonjol: Individu yang belum menikah cenderung tidak mengalami demensia, khususnya Alzheimer dan demensia Lewy body, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sudah menikah.
Banyak orang dewasa sedih melihat orangtua mereka mengalami penurunan fungsi kognitif dan gejala demensia. Kini para ahli di Universitas Southern California mencoba memanfaatkan teknologi realitas maya, atau VR, untuk membantu mencegah atau menunda t...
Terkait dengan diagnosis dini
Para peneliti berspekulasi bahwa risiko demensia yang lebih tinggi di antara orang yang sudah menikah mungkin terkait dengan diagnosis dini.
Pasangan yang sudah menikah sering kali memiliki keuntungan karena pasangannya menyadari perubahan dalam perilaku atau ingatan dan mendorong mereka untuk mencari pertolongan medis. Hal ini dapat mengarah pada deteksi dini penurunan kognitif, sehingga tampak bahwa individu yang sudah menikah lebih berisiko.
Para peneliti bahkan mengakui kemungkinan adanya apa yang disebut "bias penetapan"—di mana beberapa kelompok didiagnosis lebih sering hanya karena mereka dipantau lebih ketat. Namun, metodologi penelitian, dengan evaluasi tahunan oleh para profesional, meminimalkan faktor ini, sehingga lebih berbobot pada temuan mereka.
Meneliti jenis dukungan sosial yang dimiliki
Penelitian tersebut tidak hanya melihat apakah individu tersebut sudah menikah atau belum—penelitian tersebut juga meneliti jenis dukungan sosial yang dimiliki orang tersebut.
Orang yang belum menikah, khususnya mereka yang tidak pernah menikah, mungkin memiliki jaringan sosial yang lebih kuat, yang dapat melindungi dari demensia. Orang-orang ini sering kali menjalin persahabatan dan ikatan komunitas yang erat, yang menawarkan dukungan emosional yang terbukti lebih bermanfaat bagi kesehatan kognitif daripada pernikahan itu sendiri.
Jadi, kualitas hubungan Anda, bukan hanya status perkawinan Anda, mungkin memainkan peran penting dalam melindungi kesehatan otak Anda. Menikah tidak secara otomatis berarti Anda berisiko lebih tinggi mengalami penurunan kognitif.
Pentingnya mempertahankan kehidupan sosial yang kuat
Faktanya, mempertahankan kehidupan sosial yang kuat dan kesejahteraan emosional, terlepas dari status perkawinan, mungkin merupakan strategi terbaik untuk pikiran yang sehat seiring bertambahnya usia. Saatnya untuk mulai berfokus pada kualitas hubungan dan kekuatan jaringan dukungan Anda, baik menikah, lajang, atau di antara keduanya.
Dengan melihat lebih jauh dari sekadar status perkawinan dan mempertimbangkan kesehatan emosional, Anda dapat melindungi pikiran dengan lebih baik—dan itu adalah sesuatu yang patut dirayakan.