Pakar Hukum: Fenomena Upload Foto Warga di Aplikasi AI Melawan Hukum

7 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Guru besar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad angkat suara soal fenomena foto warga yang diunggah dan dijual di aplikasi berbasis artificial intelligence (AI).

Beberapa tahun terakhir banyak fotografer mengunggah foto-foto warga yang berolahraga lari atau pada event marathon ke aplikasi dengan teknologi face recognition.

Warga yang mendownload aplikasi tersebut bisa mengakses foto dirinya dan membeli ke fotografer yang menjepretnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena itu menjadi sorotan publik di media sosial. Mereka terutama memperdebatkan soal kerahasiaan data pribadi sebab foto tersebut diunggah di aplikasi berbasis AI.

Suparji mengatakan aksi memfoto warga tanpa izin bisa dikategorikan perbuatan melawan hukum. Sebab, kegiatan itu melanggar hak asasi setiap warga negara.

"Dalam perspektif hukum, perbuatan tersebut dikualifikasi melawan hukum. Kenapa, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan HAM seseorang, karena tanpa izin," kata Suparji saat dihubungi, Selasa (28/10).

Suparji mengungkap beberapa potensi pelanggaran dari fenomena itu, antara lain pencemaran nama baik hingga pencurian data pribadi. Dia mengungkap sejumlah pasal yang mengatur ketentuan itu.

Misalnya UU Hak Cipta di Pasal 12, 13, maupun Pasal 115. Selain itu, bisa pula dijerat dengan UU ITE melalui Pasal 7 ayat 1, UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), hingga UU Pornografi.

"Jadi, sangat tergantung konten dari foto tersebut. Tapi secara keseluruhan itu ada unsur melawan hukum, ada unsur merugikan pihak lain. Saya kira enggak bisa dibantah lagi," kata Suparji.

Menurutna, foto masuk dalam ranah pribadi sehingga seseorang tanpa izin tak boleh memfoto atau bahkan menyebarluaskan. Suparji menilai fenomena foto tanpa izin merupakan pelanggaran serius bukan saja secara etika, namun juga hukum.

Namun, foto tanpa izin itu berbeda kasus dengan foto yang digunakan untuk kepentingan pemberitaan. Kata dia, ada pembeda utama dalam dua kasus itu, yakni unsur diperjualbelikan.

"Bukan sekadar unsur informasi, apalagi kepentingan media. Untuk kepentingan media kan terlindungi, bukan komersial. Jadi sangat dipengaruhi tentang mens rea-nya, niat jahatnya," kata dia.

Menurut Suparji, pemerintah perlu membuat aturan khusus terhadap fenomena itu. Bahkan, dia mendorong agar hal itu dihentikan. Pertama, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas. Kedua, aturan itu harus memberikan pendekatan hukum.

"Salah satunya mengingatkan, minta maaf, intinya petunjuk teknis untuk penegakkan hukumnya," kata Suparji.

(fra/thr/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |