Jakarta, CNN Indonesia --
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat sebanyak 8.644 titik panas (hotspot) terdeteksi di seluruh wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) sepanjang Mei hingga akhir Juli 2025 sebagian besar berada di area konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
"Sebagian besar dari titik api tersebut ditemukan berada di dalam area konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang mengindikasikan keterlibatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun ini," kata Kepala Divisi Wahana Keadilan dan Reformasi (WKR) WALHI Kalbar, Andre Illu, Rabu (30/7).
Laporan WALHI menyebutkan, lima kabupaten dengan jumlah hotspot tertinggi adalah Kabupaten Sanggau (1.816), Mempawah (1.190), Sambas (1.190), Landak (807), dan Ketapang (657).
Dari total tersebut, sebanyak 2.652 hotspot ditemukan di dalam konsesi perusahaan perkebunan, dengan konsesi terbanyak berada di PT Perkebunan Nusantara XIII (124 titik), PT Kapuas Palm Industri (108), Sumatera Unggul Makmur (106), PT Global Kalimantan Makmur (103), dan Mitra Austral Sejahtera (89).
Sementara itu, pada konsesi izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), tercatat 1.061 hotspot tersebar di 54 perusahaan. Konsesi dengan jumlah titik api tertinggi di antaranya adalah PT Finantara Intiga (143), PT Duta Andalan Sukses (102), PT Fajar Wana Lestari (88), dan PT Kanya Resources (71).
"Kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi agenda tahunan, sayangnya bukan agenda prestasi, melainkan bentuk kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan," tuturnya.
Ia menambahkan, kebakaran di kawasan hidrologis gambut (KHG) masih terus berulang meskipun pemerintah sebelumnya berkomitmen melindungi dan memulihkan lahan gambut pasca karhutla hebat tahun 2015.
Berdasarkan data overlay WALHI, terdapat 2.353 hotspot di kawasan gambut, tersebar di 36 konsesi perusahaan kelapa sawit. Di antaranya PT Sumatera Unggul Makmur (89 titik), Peniti Sungai Purun (53), dan Mitra Andalan Sejahtera (18).
"Bahkan Pontianak kini sudah mulai terdampak kabut asap dan kualitas udara yang memburuk. Ini baru awal musim kemarau. Jika tidak ada tindakan serius, negara hanya mengulang kelalaian dan gagal melindungi hak warga atas lingkungan yang sehat," katanya.
WALHI menyoroti bahwa penanganan karhutla selama ini lebih banyak menyasar individu atau petani kecil, sementara peran dan tanggung jawab perusahaan nyaris tak tersentuh. Bahkan, beberapa perusahaan yang tahun-tahun sebelumnya telah diputus bersalah dalam perkara karhutla, hingga kini belum menjalani eksekusi atau pencabutan izin.
"Beberapa konsesi yang terbakar tahun ini, juga terbakar pada 2015, 2019, dan 2023. Ini menunjukkan pola berulang dan tidak adanya efek jera," kata Andre Illu.
Ia juga mengungkapkan bahwa pengelolaan lahan di area gambut oleh perusahaan, seperti pembukaan kanal, turut merusak sistem hidrologis kawasan dan berdampak besar pada wilayah masyarakat sekitar. Meskipun ada upaya penataan air di dalam konsesi, rusaknya sistem aliran air membuat gambut menjadi lebih mudah terbakar saat kemarau tiba.
WALHI menegaskan, akar persoalan karhutla bukan semata keterbatasan teknis atau kesalahan individu, melainkan kegagalan struktural dalam pengawasan, penegakan hukum, dan keberpihakan negara terhadap korporasi.
Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin usaha perkebunan dan kehutanan, khususnya yang berada di kawasan rawan karhutla.
"Impunitas terhadap korporasi adalah bentuk nyata ketertundukan negara. Penegakan hukum harus menyentuh pelaku utama, bukan hanya simbolik seperti penyegelan lahan atau pencabutan izin yang tak pernah dilaksanakan," kata dia.
WALHI Kalbar juga meminta agar pemerintah pusat dan daerah memperkuat kapasitas deteksi dini, sistem pemantauan, serta melakukan restorasi ekosistem gambut sebagai bagian dari strategi mitigasi iklim.
Dengan potensi musim kemarau panjang hingga akhir tahun, ancaman karhutla di Kalbar diprediksi belum berakhir. Situasi ini menuntut respons cepat dan terukur dari pemerintah agar bencana ekologis tahunan ini tidak kembali mengulang dampak buruk seperti tahun-tahun sebelumnya dari pencemaran udara, gangguan kesehatan, kerugian ekonomi, hingga rusaknya keanekaragaman hayati.
"Selama negara tidak bersungguh-sungguh menjawab akar persoalan, maka selama itu pula Kalimantan Barat dan provinsi lainnya akan terus berada dalam siklus bencana ekologis yang berulang," katanya.
(antara/dal)