Liputan6.com, Jakarta - Narsistik atau gangguan kepribadian narsistik adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa dirinya lebih penting dari orang lain, sangat membutuhkan pujian dan pengakuan, serta cenderung tidak memiliki empati.
Meskipun pada batas tertentu kepercayaan diri penting dimiliki anak, sifat narsistik yang berlebihan bisa merusak hubungan sosial, menurunkan kemampuan bekerja dalam tim, dan menyebabkan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang dikutip dari Bright Side, Sabtu (31/5/2025), mengungkapkan bahwa pola asuh orangtua memainkan peran penting dalam membentuk kepribadian anak, termasuk risiko tumbuh menjadi pribadi narsistik.
Terutama pada masa golden age (usia 0–3 tahun), otak anak berkembang sangat cepat dan sangat peka terhadap interaksi emosional dengan orang terdekatnya.
Oleh karena itu, ketahui beberapa cara mendidik anak yang bisa diterapkan orangtua untuk mencegah tumbuhnya sifat narsistik.
Baru-baru ini viral di media sosial Facebook unggahan seorang warganet yang menyoroti soal anak TK, SD, SMP hingga SMA yang harus mengikuti acara wisuda di hari kelulusannya.
1. Puji Anak dengan Bijaksana dan Sewajarnya
Pujian memang sangat dibutuhkan anak untuk membangun harga diri dan kepercayaan diri. Namun, pujian yang berlebihan dan tidak proporsional justru bisa menanamkan pandangan bahwa mereka selalu lebih baik dari orang lain, bibit dari kepribadian narsistik.
Berikan pujian yang spesifik dan berdasarkan proses, bukan hanya hasil. Misalnya, katakan, “Ibu bangga kamu sudah berusaha menyelesaikan PR meskipun sulit,” bukan hanya “Kamu anak paling pintar!”
Pujian seperti ini mendorong anak untuk terus belajar dan menghargai proses, bukan hanya hasil akhir atau pengakuan semata.
2. Tetapkan Batasan yang Sehat dan Konsisten
Anak yang terbiasa mendapatkan semua keinginannya tanpa batasan akan kesulitan menghadapi realita ketika dewasa. Ini sering kali menjadi cikal bakal sifat egois dan kurang menghargai batasan sosial, ciri khas dari kepribadian narsistik.
Tetapkan aturan yang jelas dan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, jadwal tidur, waktu bermain gadget, atau tanggung jawab di rumah. Batasan ini bukan untuk membatasi kebebasan anak, tetapi untuk mengajarkan bahwa dalam hidup, ada aturan dan konsekuensi yang harus dihormati.
3. Jangan Pernah Bandingkan Anak dengan Orang Lain
Kalimat seperti, “Lihat tuh, kakak bisa rapi, masa kamu nggak bisa?” atau “Temanmu aja nilainya bagus, kamu kok nggak?” bisa terlihat biasa saja, tapi berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak.
Kebiasaan membandingkan anak justru dapat menanamkan rasa tidak aman, atau sebaliknya, keinginan untuk selalu mengungguli orang lain.
Anak jadi berpikir bahwa nilai dirinya bergantung pada seberapa hebat ia dibandingkan orang lain. Ini bisa memicu sifat kompetitif yang tidak sehat dan memperbesar peluang munculnya sikap narsistik.
Fokuslah pada perkembangan dan usaha anak itu sendiri. Ajarkan bahwa kegagalan dan keberhasilan adalah bagian dari proses belajar yang tidak harus dibandingkan dengan orang lain.
4. Ajarkan Tanggung Jawab dengan Cara yang Menyenangkan
Rasa tanggung jawab tidak datang secara instan. Ini harus dilatih sejak dini, bahkan dari hal-hal sederhana. Misalnya, bertanggung jawab terhadap mainan yang berantakan, menyelesaikan tugas sekolah, atau menepati janji kecil.
Anak yang tumbuh tanpa rasa tanggung jawab bisa berkembang menjadi pribadi yang menyalahkan orang lain saat menghadapi kegagalan, salah satu ciri umum dari kepribadian narsistik.
Orangtua bisa menjelaskan sebab-akibat dari setiap tindakan. Contohnya, jika anak memecahkan gelas karena bermain kasar, bantu mereka memahami bahwa tindakan tersebut memiliki konsekuensi, dan mereka harus bertanggung jawab, misalnya dengan membantu membersihkan.
5. Ajarkan Anak untuk Berempati pada Orang Lain
Empati adalah fondasi utama dari kecerdasan emosional. Anak yang tidak diajarkan empati sejak kecil cenderung tumbuh menjadi pribadi yang egois dan tidak peduli pada lingkungan sekitar.
Orang dengan sifat narsistik biasanya kesulitan menempatkan diri di posisi orang lain dan tidak memikirkan perasaan orang lain.
Orangtua dapat mulai mengajarkan empati melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika melihat seseorang sedang sedih, ajak anak berdiskusi, “Kira-kira, kenapa ya dia sedih?” atau, “Apa yang bisa kita lakukan agar dia merasa lebih baik?” Dengan begitu, anak belajar memahami dan menghargai emosi orang lain.
6. Bantu Anak Menemukan Hobi dan Hal yang Mereka Sukai
Setiap anak memiliki minat yang unik. Ketika mereka menemukan sesuatu yang disukai dan mendapatkan dukungan dari orangtua, itu akan membentuk identitas diri yang kuat dan sehat.
Hal ini jauh lebih positif dibandingkan membentuk rasa percaya diri semu hanya karena sering dipuji atau dibandingkan dengan orang lain.
Orangtua bisa mengenalkan berbagai aktivitas, seperti menggambar, membaca, bermain alat musik, memasak, atau bahkan kegiatan luar ruangan. Yang terpenting, libatkan diri dalam kegiatan tersebut sebagai bentuk dukungan dan validasi emosional bagi anak.