Menguak Realita Petani, Pesan Sosial di Balik Film Seribu Bayang Purnama

2 months ago 72

Liputan6.com, Jakarta Untuk pertama kalinya dalam sejarah perfilman Indonesia, sebuah film layar lebar berjudul "Seribu Bayang Purnama" sepenuhnya mengangkat problematika yang dihadapi petani masa kini. Diproduksi oleh Baraka Films, yang dikenal dengan karya dokumenter berkualitas, film ini menyoroti perjuangan para petani dalam menghadapi tantangan berat yang sering kali luput dari perhatian masyarakat perkotaan.

"Seribu Bayang Purnama" menggambarkan realitas pahit yang dialami petani, mulai dari sulitnya mendapatkan modal hingga jeratan utang kepada rentenir akibat tingginya harga pupuk dan pestisida berbahan kimia. Kondisi ini membuat para petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.

Kisah nyata ini menginspirasi Yahdi Jamhur, sutradara sekaligus founder Baraka Films, untuk mengangkat isu tersebut ke layar lebar. Menurutnya, para petani adalah tulang punggung ketersediaan pangan nasional, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan mereka menjadi sangat penting.

Proyek ini mendapatkan dorongan besar dari Joao Mota, produser eksekutif film yang juga penggiat pertanian alami. Ide cerita film ini terinspirasi dari kisah sukses seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mempelopori Metode Tani Nusantara. Metode ini menawarkan cara bertani alami yang hemat biaya, tanpa bergantung pada pupuk atau pestisida kimia.

Namun, upaya membawa metode ini ke desa yang telah terbiasa dengan bahan kimia bukanlah hal mudah. Konflik dengan juragan pupuk pabrikan menjadi tantangan utama, yang diperparah dengan kisah cinta penuh dilema antara Putro, tokoh utama, dengan Ratih, putri dari keluarga rivalnya.

Konflik, Cinta, dan Perjuangan di Pedesaan

Putro Hari Purnomo, yang diperankan oleh Marthino Lio, adalah seorang pemuda yang kembali ke desanya di Yogyakarta setelah merantau ke kota. Ia bertekad menggerakkan para petani di desanya untuk menerapkan metode pertanian alami yang diwarisi dari ayahnya. Namun, niat mulia ini menghadapi banyak rintangan, termasuk kompetisi dengan keluarga rival yang sudah lama berkuasa di desa.

Di tengah perjuangannya, Putro menghadapi konflik batin saat ia mulai jatuh hati pada Ratih (Givina), pemilik toko pupuk kimia dan anak dari saingan lama keluarganya. Dalam kondisi ini, ia terus berusaha membuktikan bahwa pertanian alami bisa menjadi solusi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat desa.

Sinematik Memukau dengan Pesan Kuat

Film ini memperlihatkan keindahan alam pedesaan Yogyakarta melalui gambar sinematik yang eksotis, mengingatkan penonton akan akar budaya Indonesia. Ditulis oleh Swastika Nohara, penulis skenario peraih Piala Maya, "Seribu Bayang Purnama" menggabungkan alur cerita yang emosional, konflik yang kuat, dan pesan sosial yang mendalam.

“Film ini didedikasikan untuk para petani yang telah memberikan kontribusi besar bagi bangsa. Bahkan, seluruh keuntungan dari tiket film ini akan digunakan sepenuhnya untuk program pemberdayaan petani,” ungkap Yahdi Jamhur.

Yahdi berharap film ini dapat menginspirasi generasi muda untuk melihat bertani sebagai pilihan hidup yang bermartabat. “Bumi pertiwi membutuhkan cara alami agar tetap menghasilkan hasil bumi terbaik. Kami ingin menyampaikan bahwa ketahanan pangan adalah kunci kedaulatan negara Indonesia,” tutup Yahdi.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |