Koalisi Sipil Gugat Sejumlah Pasal UU TNI ke MK

5 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Tim Advokasi untuk Reformasi Keamanan yang terdiri dari puluhan advokat dan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) mengajukan permohonan uji materi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan uji materi tersebut merupakan janji tim advokasi setelah MK menolak permohonan uji formil UU TNI pada Rabu, 17 September lalu.

Permohonan ini merupakan upaya lanjutan gerakan masyarakat sipil untuk menolak perluasan jabatan militer di ranah sipil, impunitas TNI, dan perpanjangan masa pensiun jenderal TNI yang berakibat buruk bagi organisasi TNI.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Undang-undang TNI tidak hanya mengabaikan partisipasi publik, tetapi juga memperkuat pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil," ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana dikutip Jumat (24/10).

Para Pemohon dalam permohonan uji materi ini terdiri dari lima organisasi yang aktif melakukan kerja advokasi HAM dan demokrasi serta aktif mendorong reformasi sektor keamanan khususnya reformasi TNI, yakni Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan LBH APIK Jakarta.

Selain pemohon organisasi, terdapat juga tiga pemohon perseorangan yaitu dosen sekaligus peneliti bidang pertahanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie serta mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) atas nama M. Adli Wafi dan M. Kevin Setio Haryanto yang sampai saat ini aktif melakukan kritik dan monitoring berkaitan dengan reformasi TNI.

Koalisi memandang UU TNI mengandung banyak permasalahan mulai dari segi pembentukan hingga substansi yang termuat di dalamnya. Oleh karena itu, terang Arif, permohonan ini menyasar pada pasal-pasal bermasalah di dalam UU TNI.

Pertama, mengenai pelanggaran prinsip kebebasan sipil dan kepastian hukum. Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU TNI memberi kewenangan kepada TNI untuk "membantu mengatasi pemogokan dan konflik komunal" dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Koalisi menilai ketentuan itu secara nyata bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hak untuk melakukan pemogokan diakui sebagai bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi dan Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 yang telah diratifikasi Indonesia.

Pelibatan militer dalam menghadapi pemogokan pekerja berarti menempatkan tindakan sipil yang sah sebagai ancaman keamanan negara. Selain itu, frasa "konflik komunal" dalam Pasal tersebut dianggap bersifat multitafsir dan karet, karena tidak dijelaskan batasan hukumnya.

Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagaimana dilarang oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan membuka peluang penyalahgunaan kekuatan bersenjata dalam urusan yang seharusnya ditangani aparat sipil dan hukum.

Lebih lanjut, Arif bilang definisi yang karet dan ruang lingkup dari frasa "membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber" termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 15 UU TNI, berpotensi membuka ruang keterlibatan militer dalam urusan dan pengelolaan ancaman keamanan siber, khususnya berkaitan dengan ancaman yang mencakup aspek teknis keamanan siber, penegakan hukum kejahatan siber, dan aspek lainnya yang masuk kualifikasi keamanan sipil, yang bukan merupakan bagian dari tugas pokok TNI.

Kedua, peniadaan fungsi pengawasan DPR dalam operasi militer. Salah satu ketentuan yang diubah oleh UU TNI adalah ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mendelegasikan pelaksanaan OMSP kepada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah, tanpa melibatkan DPR. Padahal, konstitusi secara tegas mengatur setiap pengerahan kekuatan militer harus melalui keputusan politik negara (Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945).

Dengan pendelegasian tersebut, fungsi checks and balances DPR terhadap Presiden sebagai panglima tertinggi TNI menjadi terhapus.

Arif menyatakan kondisi tersebut berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan dan menjauhkan mekanisme akuntabilitas sipil terhadap militer yang merupakan prinsip dasar dalam sistem demokrasi konstitusional.

"Koalisi menilai pengaturan ini adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil yang telah menjadi fondasi utama demokrasi pasca reformasi 1998," ucap Arif.

Ketiga, mengenai pelanggaran prinsip supremasi sipil dan pemisahan fungsi sipil-militer. Pasal 47 ayat (1) memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan pada lembaga-lembaga sipil seperti Kesekretariatan Presiden, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Kejaksaan RI.

Arif menjelaskan ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, serta TAP MPR Nomor VII/MPR/2000, yang menegaskan anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer.

"Ketentuan ini menandai kemunduran serius reformasi TNI dengan melegalisasi secara ugal-ugalan dwifungsi TNI. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi birokrasi sipil, tetapi juga terhadap profesionalisme militer itu sendiri, karena menciptakan tumpang tindih kewenangan, serta melemahkan independensi lembaga penegak hukum dan pemerintahan sipil," imbuhnya.

Keempat, diskriminasi dan ketidakadilan struktural di tubuh TNI dengan usia pensiun para jenderal yang diperpanjang. Pasal 53 UU TNI memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun dengan kemungkinan perpanjangan dua kali. Perubahan ini dianggap menciptakan ketimpangan karier internal (career logjam) karena memperlambat regenerasi dan mempersempit peluang perwira muda untuk promosi jabatan.

Arif bilang kondisi tersebut tidak hanya berdampak pada stagnasi struktural, tetapi juga melanggar prinsip kesetaraan dan keadilan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Selain itu, perpanjangan usia pensiun tanpa dasar kebutuhan objektif organisasi menimbulkan diskriminasi vertikal antara perwira tinggi dan jenjang lainnya, serta menambah beban anggaran pertahanan tanpa memperkuat profesionalitas TNI.

"Koalisi menilai Pasal ini memperkuat feodalisme internal militer dan mengancam efektivitas struktur komando," kata dia.

Kelima, perihal reformasi peradilan militer yang mandek. Pasal 74 UU TNI menunda penerapan Pasal 65 UU TNI yang menegaskan prajurit TNI tunduk pada peradilan umum untuk perkara pidana umum. Penundaan tersebut menyebabkan sistem peradilan militer masih memiliki kewenangan absolut atas seluruh tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, termasuk tindak pidana umum seperti pembunuhan, korupsi, atau kekerasan terhadap warga sipil.

Hal itu disebut menimbulkan impunitas dan pelanggaran terhadap prinsip equality before the law serta melanggar Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kesamaan di hadapan hukum. Dengan tetap berlakunya UU Peradilan Militer 1997, prajurit TNI masih dapat diadili di bawah sistem internal militer, sehingga tidak ada jaminan independensi dan transparansi peradilan.

"Koalisi menilai hal ini sebagai bentuk kegagalan negara dalam melaksanakan amanat TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 yang menghendaki reformasi total peradilan militer," tambah Arif.

Selain persoalan substansial dalam Pasal-pasal di atas, koalisi berpendapat eksistensi UU TNI juga menunjukkan ketidakseriusan politik pemerintah dan DPR dalam melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan.

"Pasal-pasal bermasalah tersebut menunjukkan upaya rekonsolidasi kekuatan militer dengan memanipulasi hukum," kata Arif.

Sebelumnya, koalisi menguji secara formil UU TNI ke MK. Pemohon terdiri dari Imparsial, YLBHI dan KontraS. Kemudian tiga pemohon perorangan Warga Negara Indonesia yakni Aktivis HAM yang juga merupakan Putri Presiden RI ke-4 Inayah Wahid, mantan Koordinator KontraS Fatiah Maulidiyanti, dan aktivis mahasiswa Eva Nurcahyani.

MK menyatakan permohonan Eva Nurcahyani dan Fatia Maulidiyanti (Pemohon V dan VI) tidak dapat diterima karena keduanya disebut tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing.

Sementara itu, MK menolak permohonan Pemohon I-IV untuk seluruhnya.

Putusan perkara nomor: 81/PUU-XXIII/2025 yang dijatuhkan pada Rabu, 17 September 2025 diwarnai perbedaan pendapat atau dissenting opinion empat hakim konstitusi yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arsul Sani. Mereka menilai seharusnya permohonan uji formil UU TNI dikabulkan sebagian.

(fra/ryn/fra)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |