Liputan6.com, Jakarta - Analisis pasar terbaru menunjukkan harga Bitcoin berpotensi turun hingga 26 persen selama kuartal pertama 2025, dengan kemungkinan mencapai level USD 75.000 atau setara Rp 1,21 miliar (asumsi kurs Rp 16.220 per dolar AS). Namun, beberapa analis masih meragukan kemungkinan skenario ini.
Dalam laporan yang dirilis pada 28 Januari, kepala penelitian di Derive, Sean Dawson menyatakan peluang Bitcoin (BTC) jatuh di bawah USD 75.000 pada Maret meningkat menjadi 9,2 persen, naik dari 7,2 persen dalam 24 jam terakhir.
Volatilitas Bitcoin dan Tren Pasar
Pergerakan harga Bitcoin sangat dipengaruhi oleh dinamika pasar secara keseluruhan. Pada 27 Januari, BTC turun 6,5 persen ke USD 97.906 di tengah penurunan lebih luas di pasar kripto dan saham.
"Faktor utama yang memicu penurunan ini adalah rilis model kecerdasan buatan terbaru dari DeepSeek, yang mengguncang kepercayaan investor,” kata Dawson, dikutip dari Coinmarketcap, Kamis (30/1/2025).
Namun, harga Bitcoin segera pulih dan kembali diperdagangkan di atas USD 100.000, mencapai USD 102.100 menurut data CoinMarketCap.
Dawson mencatat volatilitas tersirat at-the-money Bitcoin atau indikator yang mengukur permintaan opsi melonjak dari 52 persen menjadi 76 persen. Kenaikan ini menunjukkan pedagang mulai mengamankan diri dengan membeli opsi jual sebagai perlindungan dari potensi penurunan harga.
"Peningkatan kecil dalam kemungkinan Bitcoin kembali ke USD 75.000 mencerminkan perubahan sentimen pasar yang semakin waspada terhadap risiko pelemahan," ujar Dawson.
Bitcoin terakhir kali diperdagangkan di sekitar level USD 75.000 pada 8 November, hanya beberapa hari setelah Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS. Setelah itu, BTC mengalami reli signifikan, melampaui USD 100.000 untuk pertama kalinya pada 5 Desember.
Hubungan Bitcoin dengan Tren Makroekonomi
Di sisi lain, analis dari Bitfinex menyoroti pergerakan harga Bitcoin semakin mencerminkan perubahan dalam lanskap ekonomi global.
"Pergerakan harga Bitcoin tidak hanya didasarkan pada fundamentalnya sendiri, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika makroekonomi yang lebih luas, khususnya dalam sentimen risiko," ujar tim analis.
Mereka juga menambahkan bahwa Bitcoin tidak lagi bertindak sebagai aset digital yang berdiri sendiri, melainkan semakin terintegrasi dengan pasar aset berisiko secara global.
Arthur Hayes, salah satu pendiri BitMEX, juga memperingatkan kemungkinan penurunan harga Bitcoin ke kisaran USD 70.000 hingga USD 75.000. Menurutnya, penurunan ini bisa memicu krisis keuangan mini, yang pada akhirnya mendorong bank sentral untuk meningkatkan likuiditas.
Hayes percaya intervensi ini bisa menjadi katalis bagi Bitcoin untuk mencapai harga USD 250.000 pada akhir 2025.
Sentimen Pasar dan Adopsi Institusional
Lonjakan harga Bitcoin ke level di atas USD 100.000 baru-baru ini sebagian besar didorong oleh meningkatnya adopsi institusional serta minat terhadap dana exchange-traded fund (ETF) Bitcoin.
Beberapa lembaga keuangan besar, termasuk BlackRock dan Fidelity, telah meluncurkan ETF Bitcoin, memberikan investor tradisional akses lebih mudah ke pasar kripto.
Selain itu, Bitcoin semakin dipandang sebagai penyimpan nilai, terutama di tengah meningkatnya kekhawatiran inflasi global. Investor institusional dan dana lindung nilai mulai memasukkan Bitcoin ke dalam portofolio mereka sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi.
Meskipun masih ada potensi volatilitas, banyak analis percaya faktor-faktor ini dapat mendorong harga Bitcoin lebih tinggi dalam jangka panjang, meskipun kemungkinan koreksi di awal 2025 tetap menjadi perhatian.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Bank Sentral Ceko Pertimbangkan Bitcoin sebagai Cadangan Negara
Sebelumnya, Gubernur Bank Nasional Ceko, Ales Michl, berencana mempresentasikan proposal terkait investasi Bitcoin. Jika rencana ini disetujui, bank sentral tersebut dapat mengalokasikan hingga 5 persen dari cadangan senilai USD 146,13 miliar atau setara Rp 2.69 triliun (asumsi kurs Rp 16.220 per dolar AS) ke dalam mata uang kripto terkemuka.
Dalam wawancara dengan Financial Times (FT), Michl menyatakan Bitcoin dapat menjadi opsi yang baik untuk diversifikasi aset. Ia juga menyoroti meningkatnya minat investor terhadap kripto, terutama sejak peluncuran ETF Bitcoin spot oleh BlackRock dan perusahaan lainnya tahun lalu.
Michl menjelaskan Bitcoin saat ini dalam tahap analisis dan diskusi, tanpa keputusan yang akan diambil dalam waktu dekat. Menurut dia, meskipun aset ini memiliki korelasi rendah dengan obligasi dan berpotensi menjadi tambahan menarik bagi portofolio besar, volatilitasnya tetap menjadi faktor yang perlu diperhitungkan.
"Untuk diversifikasi aset kami, bitcoin tampaknya bagus," kata Michl, menurut sebuah wawancara yang diterbitkan oleh FT, dilansir dari Yahoo Finance, Kamis (30/1/2025).
Oleh karena itu, ia akan meminta timnya untuk melakukan evaluasi lebih lanjut terkait peran potensial Bitcoin dalam cadangan bank. Aset yang dipertimbangkan adalah Bitcoin. Saat ini tidak ada korelasi dengan obligasi dan merupakan aset yang menarik untuk portofolio besar.
“Saat ini, aset tersebut baru dalam tahap analisis dan diskusi. Dewan Bank yang memutuskan, dan belum ada keputusan yang akan diambil dalam waktu dekat. Analisis yang cermat diperlukan," kata Michl dalam sebuah pernyataan di X.