Jakarta, CNN Indonesia --
Tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta jaksa KPK melawan dengan mengajukan upaya hukum banding. Boyamin mengatakan terdakwa yang melakukan korupsi dalam keadaan bencana sejatinya layak dihukum mati.
"Saya minta jaksa untuk melakukan banding karena sisi lain selain ancaman hukuman tadi yang seumur hidup dari kerugian di atas Rp100 miliar sebenarnya ini layak diberi hukuman mati. Karena apa, ini dilakukan dalam keadaan tertentu dalam keadaan bencana karena itu kan, COVID," kata Boyamin mengutip detikcom, Sabtu (7/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau hanya 3 tahun, menurut saya, sangat mencederai dan sangat tidak masuk akal," imbuhnya.
Hakim harus disanksi MA
Menurut Boyamin, hakim yang memvonis tiga terdakwa itu layak diberi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA). Sebab, kata Boyamin, MA sejatinya telah mengeluarkan peraturan, di mana kerugian di atas Rp100 miliar akibat kasus korupsi harus dihukum seumur hidup.
"Hakimnya layak diberi sanksi oleh MA karena melanggar Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020, di mana kerugian negara di atas Rp100 miliar dalam perkara korupsi, maka dengan ancaman hukuman seumur hidup," kata Boyamin.
Boyamin memandang putusan ringan itu sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Apalagi, kata Boyamin, korupsi terjadi saat masyarakat tengah berada dalam bencana wabah virus Corona (COVID-19).
"Maka majelis hakim yang memberikan hukuman ringan bahkan hanya 3 tahun kepada penyelenggara negara yang melakukan korupsi, maka itu sangat mencederai rasa keadilan masyarakat dan juga mencederai pemerintah itu sendiri, mengkhianati negara itu sendiri," ujarnya.
Tiga terdakwa divonis ringan
Tiga terdakwa kasus korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan RI divonis dengan pidana 3 hingga 11,5 tahun penjara. Mereka dinilai hakim melakukan korupsi secara bersama-sama.
Vonis tersebut dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/6).
Ketiga terdakwa tersebut ialah mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kementerian Kesehatan Budi Sylvana, Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (PT EKI) Satrio Wibowo, dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PT PPM) Ahmad Taufik.
Hakim berpendapat Budi telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai PPK dalam pengadaan APD Covid-19 dan melakukan pembayaran terhadap 170 ribu set APD yang diambil TNI dari kawasan berikat di Bogor, Jawa Barat, pada 22-24 Maret 2020.
Padahal, saat itu belum ada surat pemesanan, dan pembayaran dilakukan sebelum penandatanganan surat pesanan nomor KK.02.01/.1/460/2020 tertanggal 28 Maret 2020. Tak ada kelengkapan bukti pendukung lain terkait hal tersebut.
Budi divonis 3 tahun bui. Kemudian Ahmad Taufik divonis 11 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan ditambah uang pengganti sebesar Rp224,18 miliar subsider 4 tahun penjara.
Sementara Satrio Wibowo divonis 11 tahun dan 6 bulan penjara, serta pidana denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan. Satrio juga dihukum membayar uang pengganti Rp59,98 miliar subsider 3 tahun penjara.
Perkara ini terjadi saat wabah pandemi Covid-19 melanda Tanah Air pada 2020 lalu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan status darurat akibat virus corona terhitung sejak 28 Januari hingga 28 Februari.
Akibat penetapan status itu, segala biaya yang dikeluarkan dibebani pada Dana Siap Pakai BNPB.
Perbuatan melawan hukum ketiga terdakwa tersebut yaitu dengan melakukan negosiasi harga dan menandatangani surat pesanan APD sebanyak 5 juta set, menerima pinjaman uang dari BNPB sebesar Rp10 miliar untuk membayarkan 170 ribu set APD kepada PT PPM dan PT EKI padahal tanpa ada surat pesanan dan dokumen pembayaran.
APD merek BOHO sebesar Rp711,2 miliar untuk PT PPM dan PT EKI. Padahal, PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang dan jasa sejenis di instansi pemerintah, dan tidak memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK).
Bahkan, kedua perusahaan itu pun tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga disebut melanggar prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat.
Satrio Wibowo disebut telah memperkaya diri sebesar Rp59,9 miliar, Ahmad Taufik sebesar Rp224,1 miliar, PT YSJ Rp 25,2 miliar dan PT GAI 14,6 miliar. Negara mengalami kerugian mencapai Rp319,6 miliar.
Baca berita lengkapnya di sini.
(tim/dal)