Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan pakaian olah raga asal Amerika Serikat, Nike menghadapi gugatan oleh pembeli token non-fungible (NFT) bertema Nike dan aset mata uang kripto lainnya.
Mengutip US News, Senin (28/4/2025) penggugat mengungkapkan mereka menghadapi kerugian yang signifikan ketika Nike tiba-tiba menutup bisnis NFT-nya.
Dalam gugatan class action yang diajukan di pengadilan federal Brooklyn, New York, pembeli yang dipimpin oleh penduduk asal Australia, Jagdeep Cheema menerangkan penutupan mendadak unit RTFKT Nike pada Desember 2024 lalu menyebabkan permintaan NFT mereka menurun.
Penggugat lebih lanjut mengatakan, mereka tidak akan pernah membeli NFT dengan harga yang mereka beli, atau sama sekali tidak akan membeli, jika mengetahui token tersebut adalah sekuritas yang tidak terdaftar.
Nike, yang berkantor pusat di Beaverton, Oregon, tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait tuntutan pembeli NFT-nya.
Status hukum NFT belum jelas, dan telah terjadi banyak litigasi mengenai apakah NFT merupakan sekuritas menurut hukum federal.
Gugatan itu meminta ganti rugi yang tidak ditentukan lebih dari USD 5 juta atas dugaan pelanggaran undang-undang perlindungan konsumen New York, California, Florida, dan Oregon.
Pada Desember 2021, Nike membeli NFT bernama RTFKT, yang diucapkan "artefak," dengan mengatakan bahwa perusahaan pakaian olah raga itu memanfaatkan inovasi mutakhir untuk menghadirkan koleksi generasi berikutnya yang menggabungkan budaya dan permainan.
Nike mengumumkan penutupan RTFKT yang telah selesai pada 2 Desember 2024, sambil memproyeksikan bahwa inovasi yang diwakili oleh RTFKT akan terus berlanjut melalui "banyak kreator dan proyek" yang terinspirasi olehnya.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
Investor NFT Terancam Penjara 6 Tahun Akibat Penggelapan Pajak
Seorang investor NFT asal Pennsylvania, Amerika Serikat, Waylon Wilcox, kini menghadapi ancaman hukuman penjara hingga enam tahun setelah dinyatakan bersalah dalam kasus penggelapan pajak. Wilcox, 45 tahun, terbukti menyembunyikan pendapatan lebih dari USD 13 juta atau setara Rp218 miliar (asumsi kurs Rp 16.800 per dolar AS) dari penjualan NFT populer CryptoPunks.
Melansir Coinmarketcap, jaksa AS menyatakan Wilcox dengan sengaja memberikan laporan pajak penghasilan palsu untuk tahun pajak 2021 dan 2022. Ia gagal melaporkan jutaan dolar dari aktivitas jual-beli NFT yang ia lakukan selama dua tahun berturut-turut.
Untung Besar dari NFT, Tapi Gagal Laporkan
Wilcox diketahui menjual total 97 NFT CryptoPunks, yang merupakan salah satu koleksi token digital paling ikonik di dunia kripto. Pada 2021, ia menjual 62 NFT senilai sekitar USD 7,4 juta, dan pada 2022, ia menjual 35 NFT lagi senilai hampir USD 4,9 juta. Meski demikian, dalam laporan pajaknya, ia menyatakan penghasilan yang jauh lebih kecil dari jumlah sebenarnya.
Dalam dakwaan yang diajukan ke pengadilan, Wilcox bahkan mengaku tidak memiliki transaksi aset digital selama tahun 2022. Ia menjawab “tidak” saat diminta mengonfirmasi apakah dirinya pernah menerima, menjual, atau menukar aset digital sepanjang tahun tersebut.
Padahal menurut aturan pajak di Amerika Serikat, setiap transaksi NFT, termasuk penjualan, harus dilaporkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak.
Diselidiki Regulator Pajak AS
Kasus ini diselidiki langsung oleh divisi Investigasi Kriminal dari Internal Revenue Service (IRS), badan pajak Amerika. Asisten Jaksa AS David C. Williams adalah pihak yang menangani kasus ini.
Yury Kruty, Agen Khusus Penanggung Jawab IRS wilayah Philadelphia, menyatakan bahwa pihaknya sangat serius menangani upaya manipulasi finansial di dunia aset digital.
"Penyelidikan Kriminal IRS berkomitmen untuk mengungkap skema keuangan rumit yang melibatkan mata uang virtual dan NFT yang dirancang untuk menyembunyikan pendapatan kena pajak," ujar Kruty.