Liputan6.com, Jakarta - Pada Kamis (05/12/2024) Kearney menggelar media briefing dalam rangka membahas studi “Indonesia’s Pathway to Net Zero 2060.’. Acara ini diselenggarakan sejalan dengan tujuan negara yang sedang berusaha menuju net zero emisi pada 2060 mendatang.
Sehingga perusahaan konsultan managemen global terbuka yang sudah berdiri sejak 100 tahun ini ikut ambil bagian dalam mewujudkan net zero emisi pada 2060.
Hal ini menjadi titik terpenting bagi negara untuk menunjukan kemanjuan nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang masih menjadi perhatian banyak pihak. Kondisi ini juga sejalan dengan perekonomian Indonesia yang masih bergantung sumber daya domestik, salah satunya penggunaan bahan bakar fosil.
Maka diperlukan upaya yang paling tepat dalam melindungi lingkungan sekaligus melanjutkan perekonomian di Indonesia.
“Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah peringkat ke-7 penyumbang emisi terbesar di dunia. Tapi kita punya komitmen yang cukup tinggi untuk me-reuse emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Jadi seperti yang kita lihat di sini annual greenhouse emission kita cukup tinggi dan mempunyai goal yang cukup bold,” ucap Shirley Santoso, Direktur Utama Kearney Indonesia saat ditemui media, Kamis (05/12/2024).
Dalam penerapan greenhouse sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca akan jauh lebih tinggi dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun, penting bagi segala pihak untuk terus fokus, mulai berkomitmen, dan melakukan kolaborasi baik antara sektor swasta, publik, hingga pemerintah.
Di sisi lain beberapa aktivitas menjadi sektor penyumbang gas emisi terbesar yang masih terus menjadi perhatian.
Berdasarkan penelitian dari Kearney sebanyak 55% sektor penyumbang gas emisi terbesar berasal dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan pangan (Afolu), sebanyak 26% berasal dari energi, 8% dari transportasi, 8% dari sampah dan sebanyak 3% dari industri serta produksi (IPPU).
“Memang untuk mencapai net zero ini memerlukan suatu rencana yang komprehensif dan holistik yang benar-benar dapat mengatasi tiap-tiap kontribusi sektor ini. Baik dari sisi Afolu, transportasi, energi, limbah maupun IPPU dan juga tentunya dibantu dengan lintas sektor seperti inverstasi,” ungkap Shirley.
Penyumbangan emisi gas rumah kaca ini tidak terlepas dari aktivitas penggundulan hutan baik karena cuaca maupun karena ulah manusia. Selain itu, aktivitas harian yang tidak terlepas dari bahan bakar fosil menjadi tantangan bagi Indonesia untuk dapat menciptakan efisien energi yang tepat.
Sehingga bagi Kearney penting untuk bertransisi dari ekosistem lokal berbasis bahan bakar fosil ke eksosistem hijau yang semakin maju.
Dari sisi transportasi tentunya menjadi yang paling mungkin untuk dilakukan, mengingat bahwa transportasi umum sudah cukup memadai. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat dapat beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum.
Pengelolaan sampah dan penggunaan energi seperti tambang, logam, hingga sampah rumah tangga juga mejadi perhatian dalam penurunan emisi gas rumah kaca.
Penerapan teknologi ramah lingkungan sangat dibutuhkan dan harus dilakukan secara bertahap. Mengingat untuk ke depannya Indonesia akan memberikan pajak karbon sebesar $2 per ton emisi CO2.
“Negara-negara maju dan dunia barat menerapkan pajak karbon sebesar $30 hingga $100 per ton. Namun ini adalah langkah yang lambat, tapi langkah yang bagus. Jika kita benar-benar melihat kredit karbon. Saat ini kita telah menjangkau hampir 99 pembangkit listrik atau pengguna batubara, yang mencakup hampir 86% pengguna batubara kita di Indonesia,” ungkap Som Panda, Principal di Kearney Indonesia.
Dirinya juga menambahkan bahwa ketika membicarakan tentang net zero dan emisi per tahun 2021 kemarin masih membutuhkan peningkatkan terkait perombakan, kesadaran, hingga pengembangan masyarakat dalam upayah menghadapi masalah emisi rumah kaca.