Jakarta, CNN Indonesia --
Politik internal di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memanas jelang muktamar partai pada September 2025. Muktamar adalah forum tertinggi PPP untuk menentukan ketua umum baru untuk periode selanjutnya.
Setidaknya ada sembilan hingga 10 nama yang menguat jelang muktamar. Ada yang berasal dari unsur internal dan eksternal partai.
Dari kalangan eksternal, nama seperti eks KSAD Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman, Mensos Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, Mentan Andi Amran Sulaiman, hingga eks Mendag Agus Suparmanto masuk bursa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nama-nama itu dimunculkan dan didorong oleh Muhamad Romahurmuzy alias Romy, mantan ketua umum partai yang terjungkal karena kasus korupsi.
Romy menyebut nama-nama eksternal itu punya ketokohan dan tauke. Dengan bahasa lain, ibarat Ratu Adil dalam skala kecil, yang lewat ketokohan dan kemampuan modalnya diharapkan mampu mengembalikan kemapanan PPP sebagai partai parlemen.
Akan tetapi, munculnya nama-nama dari eksternal PPP ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan internal partai.
Politikus senior PPP, Yahidin Umar menyinggung Romy yang menjadi dalang di balik munculnya sosok-sosok eksternal itu dalam bursa.
Yahidin mengatakan Romy hendak menjual partai jelang pelaksanaan Muktamar dan pemilihan ketua umum baru pada September 2025.
Ia menuding Romy memiliki kepentingan dengan mendorong pihak eksternal untuk maju sebagai calon ketua umum.
"Jadi kalau setiap kader beranggapan Romy jualan partai sah-sah saja, karena di partai ada mekanisme untuk jadi ketua ada tahapan-tatapannya," kata Yahidin dalam keterangannya, Senin (2/6).
Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan menyampaikan apa yang tengah terjadi di PPP belakangan menunjukkan tingkat pelembagaan partai yang sangatlah lemah. Artinya, kelembagaan PPP masih lemah dalam mencetak dan mengorbitkan kader-kader berpengaruh dan memiliki reputasi yang luas dan mengakar di masyarakat. Padahal, dalam politik Indonesia, kehadiran figur atau tokoh menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat dalam menentukan pilihan.
Cusdiawan juga menilai dari kelemahan itu pula lahir kegagalan besar PPP, yakni gagal masuk ke parlemen untuk pertama kalinya dalam sejarah. Menurutnya, momentum muktamar nanti, kelemahan internal yang seharusnya diperbaiki PPP, bukan malah merekrut sosok eksternal memimpin partai.
"Justru disikapi dengan wacana mengajak pihak eksternal untuk menjadi ketua umum berpotensi menghasilkan sesuatu yang kontra-produktif, yang justru bisa menajamkan faksionalisasi dan belum tentu bisa menyelesaikan persoalan partai," ucap Cusdiawan.
Pelajaran Sandiaga Uno
Cusdiawan yang juga dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang itu mengatakan seharusnya PPP berkaca dari kasus Sandiaga Uno yang pindah dari Gerindra ke PPP jelang Pemilu 2024.
Pada saat itu, kehadiran Sandi di PPP diharapkan bisa menyelamatkan partai. Namun, pada faktanya hal itu juga gagal, PPP justru kian terpuruk dengan untuk pertama kalinya tidak lolos ke parlemen.
"Itu artinya, menarik orang luar untuk menjadi ketum pun bukanlah solusi yang ideal dan belum tentu bernilai strategis bagi keberlangsungan partai," ujarnya.
Sejak pertama kali mengikuti Pemilu pada 1977, PPP selalu lolos ke parlemen. Untuk pertama kalinya mereka gagal melenggang ke Senayan di Pemilu 2024 lantaran perolehan suara mereka tak mencapai empat persen.
Cusdiawan mengatakan upaya menarik orang luar partai justru dapat memperkuat persepsi negatif publik dan seolah sebagai 'tragic comedy' termasuk di kalangan konstituen mereka sendiri.
"Bahwa PPP sebagai 'partai tua' ternyata gagal menghasilkan kader kompeten yang bisa memikul estafet kepemimpinan partai," ucap dia.
Lalu, Cusdiawan juga menyoroti potensi faksionalisasi yang kian menajam akibat wacana tersebut.
Ia mengatakan potensi faksionalisasi di kalangan internal PPP sudah mulai tampak hari ini, dengan mereka saling membantah mengenai isu kans sosok eksternal menjadi ketum.
Cusdiawan menyampaikan jika nantinya sosok eksternal memimpin PPP, hal itu akan melahirkan 'kecemburuan' di kalangan elite PPP yang selama ini loyal pada parpol.
"Jadi dalam hemat saya, wacana pihak eksternal memimpin PPP, selain dari sisi teoretis menunjukkan sangat rapuhnya pelembagaan parpol tersebut, juga bukan langkah yang strategis guna menyelesaikan masalah-masalah PPP tersebut," ujar Cusdiawan.
Sinyal Genting PPP
Dosen komunikasi politik Universitas Brawijaya Verdy Firmantoro mengatakan munculnya isu tokoh eksternal memimpin PPP ini lahir dari berbagai faktor.
Mulai dari komunikasi politik internal yang timpang, lemahnya narasi kolektif, serta penokohan di PPP yang mandek.
"Wacana menjadikan tokoh eksternal sebagai ketum bukan sekadar wacana politik biasa, tetapi sinyal kegentingan struktural partai," ucap dia.
Ia mengatakan munculnya tokoh eksternal yang dianggap lebih layak menjadi ketum dibanding kader sendiri, seakan menunjukkan regenerasi internal partai yang kurang berjalan.
Verdy berpendapat salah satu faktor utama dalam intrik PPP ini ialah tidak lolosnya mereka untuk pertama kali ke parlemen di Pemilu 2024.
Ia mengatakan kasus itu bukan hanya menunjukkan kegagalan elektoral partai. Namun juga simbol dari kemunduran legitimasi politik partai.
"Dengan kehilangan kursi di parlemen menggambarkan ada otoritas simbolik dan pengaruh partai di panggung nasional yang melemah," ucapnya.
Dalam situasi krisis seperti ini, alih-alih memunculkan kader internal sebagai simbol resilience partai politik. Namun yang bermunculan justru rumor tokoh eksternal digadang-gadang menjadi ketua umum.
Verdy menyampaikan munculnya wacana tokoh eksternal jelang Muktamar PPP ini bisa dibaca dari dua arah. Pertama, upaya rebranding organisasi dengan harapan tokoh eksternal dapat membawa basis baru, narasi baru, dan jaringan baru. Kedua ialah krisis kepercayaan terhadap kader internal.
Rawan Dualisme
Wacana tokoh eksternal juga rentan membawa PPP kembali terjebak dalam konflik dualisme kepemimpinan.
"Jika calon eksternal benar-benar dimajukan tanpa konsensus internal, bukan tidak mungkin muncul muktamar tandingan seperti era sebelumnya," ujarnya.
Verdy mengatakan jika memang PPP ingin bertahan di kancah politik nasional, maka mereka harus memulainya dengan membangun ulang narasi, bukan sekadar mencari tokoh populer.
Ia menyebut di dalam politik, legitimasi tidak dibeli dari luar, melainkan harus dibangun dari dalam.
"Kemunculan nama eksternal sebagai calon ketum PPP perlu diuji. Ini bisa menjadi momen titik balik atau justru sebaliknya, tergantung bagaimana prosesnya dikomunikasikan dan diterima terutama di internal," ucap dia.
"Jika hanya menjadi alat fraksi tertentu, maka ini hanya memperpanjang sejarah dualisme. Namun jika dilakukan secara deliberatif dan strategis, tokoh eksternal bisa menjadi pintu masuk bagi perombakan total narasi dan struktur PPP," imbuhnya.
(mnf/wis)