Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) menuduh mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte melakukan kejahatan kemanusiaan berupa pembunuhan dalam perang melawan narkoba.
Peran Duterte dalam kejahatan itu tertuang dalam surat perintah penangkapan yang diterbitkan ICC pada 7 Maret.
Menurut ICC selama periode November 2011 hingga Maret 2019, Duterte melakukan serangan terhadap penduduk Filipina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut peran Duterte terkait dugaan kejahatan kemanusiaan dalam surat perintah penangkapan ICC yang ditinjau CNNIndonesia.com.
Majelis berpendapat selama November 2011 hingga Maret 2019, Duterte merupakan pendiri dan ketua Davao Death Squad (Pasukan Maut Davao/DDS), Wali Kota Davao, lalu menjadi presiden Filipina.
Sebagai pendiri, kepala DDS dan kemudian Kepala Negara, Duterte bersama dengan pejabat tinggi pemerintah sepakat "menetralisir" individu yang diidentifikasi tersangka kriminal atau punya kecenderungan kriminal termasuk terkait narkoba.
Kata netralisir digunakan dan dipahami bagi mereka yang terlibat sebagai operasi membunuh.
Majelis menemukan dasar yang cukup bahwa dalam perannya sebagai kepala DDS dan presiden, Duterte menggunakan perintah langsung pelaku kejahatan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.
Sebagai ketua DDS, Duterte secara de facto punya kendali atas unit tersebut. Sebagai wali kota, dia punya kendali atas polisi dengan kekuasaan mengarahkan fungsi penyelidikan, menyebarkan dan mempekerjakan unit atau elemen polisi.
Sebagai presiden, Duterte adalah kepala negara yang secara de jure mengendalikan semua departemen, biro, dan kantor eksekutif termasuk kepolisian dan badan penegakan narkoba.
Dia juga berwenang menunjuk pejabat penegak hukum dan membentuk jaringan nasional untuk membunuh orang yang diidentifikasi sebagai kriminal dan melindungi pelaku agar tak bertanggung jawab atas kejahatan mereka.
Kontribusi Duterte
Duterte memberi kontribusi penting dalam melakukan kejahatan yang dituduhkan ICC dengan cara sebagai berikut:
1. Merancang dan menyebarluaskan proyek guna menargetkan terduga pelaku tindak pidana selama kampanye pemilihan presiden, puncaknya meluncurkan operasi anti narkoba 'Double Barrel' dan mendukungnya
2. Membentuk dan mengawasi DDS serta menyediakan senjata api, amunisi, kendaraan, rumah persembunyian, dan alat komunikasi untuk melakukan pembunuhan
3. Memerintah dan memberi wewenang melakukan tindak pidana kekerasan terhadap terduga tindak pidana termasuk pengedar serta pengguna narkoba
4. Menunjuk personel kunci untuk posisi yang krusial dalam melaksanakan kejahatan
5. Memberi insentif keuangan dan promosi ke petugas polisi dan pembunuh bayaran, menjanjikan kekebalan hukum, dan melindungi mereka dari penyelidikan dan penuntutan
6. Membuat pernyataan publik yang mengesahkan, membenarkan dan mendukung pembunuhan, dan merendahkan martabat pelaku kejahatan di depan umum dengan menyebut nama, beberapa dari mereka terbunuh dalam operasi polisi
7. Memberi wewenang ke aktor negara mengambil bagian dalam kampanye anti narkoba dan mencabut izin.
(isa/dna/bac)