Koalisi Gugat UU MD3, Pemerintah Utus Staf Ahli Mendagri ke MK

8 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, dan kawan-kawan (dkk) menggugat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait minimnya keterwakilan perempuan dalam alat kepemimpinan dewan (AKD).

Dalam sidang lanjutan perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 itu pemerintah pun memberikan keterangan untuk merespons gugatan Perludem dkk, Selasa (24/6).

Dalam sidang itu, seperti dikutip dari situs MK, pemberian keterangan pemerintah diwakili  Plt Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan, Rochayati Basra.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rochayati menerangkan Indonesia sebagai negara hukum menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk upaya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen melalui kebijakan afirmatif sebesar 30 persen.

"Kebijakan afirmatif ini merupakan perlakuan khusus yang konstitusional, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta sebagai implementasi konvensi HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia," jelas Rochayati dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra tersebut.

Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan afirmatif tidak boleh bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi dasar negara demokrasi. Atas dasar itu, dia menyatakan pemerintah melihat pengisian jabatan di AKD DPR bersifat internal dan proporsional terhadap fraksi, bukan dimaksudkan untuk menghalangi keterwakilan perempuan.

Rochayati mengatakan ketentuan UU MD3 memberikan keleluasaan kepada fraksi dalam menentukan pimpinan AKD berdasarkan prinsip meritokrasi yakni berdasarkan kompetensi dan integritas, jadi bukan semata berdasarkan gender. Dia pun menyinggung apabila ketentutan UU tersebut diberlakukan secara kaku hingga ke formasi AKD, maka akan memberi kesulitan ketika kuota perempuan 30 persen di DPR belum terpenuhi.

"Jika kuota 30 persen diberlakukan secara kaku, padahal jumlah anggota perempuan di DPR belum mencapai angka tersebut, maka akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, lebih tepat jika pengaturan kuota perempuan diatur dalam UU yang bersifat umum, seperti UU Pemilu atau UU Partai Politik," jelasnya.

Ia menegaskan, tidak adanya klausul keterwakilan perempuan dalam UU MD3 bukan berarti menutup peluang bagi perempuan untuk menjadi pimpinan di DPR. Justru hal itu membuka ruang yang lebih luas berdasarkan kemampuan dan kualitas individu.

Peran partai politik

Rochayati menegaskan, pemerintah menilai peningkatan keterwakilan perempuan di DPR lebih efektif dilakukan melalui penguatan peran partai politik dalam menyiapkan kader perempuan yang kompeten. Ia mengatakan jika hanya mengandalkan kuota dinilai tidak cukup untuk menghadirkan perubahan politik yang substantif.

"Perempuan harus disiapkan secara serius melalui pendidikan politik dan pelatihan kepemimpinan agar mereka tidak hanya hadir secara simbolik, tetapi juga mampu mempengaruhi arah kebijakan," kata Rochayati.

Perkara Nomor 169/PUU-XXII/2024 ini diajukan sejumlah organisasi dan individu yakni Koalisi Perempuan Indonesia, Perludem, Kalyanamitra, dan pengamat pemilu Titi Anggraini.

"Kami mengujikan konstitusionalitas norma Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2) dan Pasal 157 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3," ujar Ahmad Alfarizy, kuasa hukum para Pemohon dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Selasa (10/12).

Para Pemohon mengungkapkan hak konstitusional mereka dirugikan, terutama dalam hal keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pemohon menyoroti rendahnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) yang tidak mencapai 30 persen pada periode 2024-2029.

Dalam permohonan ini, para pemohon mengajukan dua isu pokok, yaitu pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD dan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara proporsional sesuai jumlah anggota perempuan di setiap fraksi.

Pemohon juga mengusulkan agar ketentuan tersebut diinterpretasikan untuk menciptakan keberimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di DPR, seperti Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran, dengan ketentuan keterwakilan minimal 30 persen.

Menurut Pemohon, ketidakseimbangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik. Pemohon berharap MK dapat menyatakan sejumlah pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan mengharuskan penafsiran yang menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen.

(kid/gil)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |