Trump Bekukan Media VOA, Staf Dipaksa Cuti dan Dilarang Kerja

4 hours ago 2

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump membekukan anggaran lembaga penyiaran dan media pemerintah termasuk Voice of America (VOA) sebagai dampak kebijakan efisiensi besar-besarannya yang terus meluas.

Pembekukan anggaran ini menjadikan ratusan jurnalis VOA dan media lain yang didanai pemerintah dalam status cuti paksa dan operasional berhenti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ratusan staf di VOA, Radio Free Asia, Radio Free Europe, dan media lainnya menerima email di akhir pekan yang menginstruksikan mereka untuk tidak memasuki kantor, serta mengembalikan kartu pers dan peralatan kerja yang dikeluarkan kantor.

Pada Jumat, Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang mencantumkan US Agency for Global Media sebagai bagian dari "birokrasi federal yang dianggap presiden tidak lagi diperlukan."

Gedung Putih mengatakan bahwa pemotongan dana ini bertujuan memastikan "pajak rakyat tidak lagi digunakan untuk propaganda radikal," menandai perubahan sikap drastis terhadap jaringan media yang selama ini berfungsi memperluas pengaruh AS di luar negeri.

Padahal, VOA dan media pemerintah AS lainnya itu telah berdiri puluhan tahun sebagai alat melawan propaganda Rusia dan China.

Pejabat pers Gedung Putih, Harrison Fields, menulis kata "selamat tinggal" dalam 20 bahasa di X, sindiran terhadap liputan multibahasa yang disiarkan oleh media-media tersebut.

Sementara itu, dikutip AFP, Direktur VOA, Michael Abramowitz, membenarkan bahwa ia termasuk di antara 1.300 staf yang terkena cuti paksa pada Sabtu.

"VOA memang membutuhkan reformasi yang matang, dan kami telah membuat kemajuan ke arah itu. Namun, tindakan hari ini akan membuat VOA tidak dapat menjalankan misinya yang sangat penting," tulisnya di Facebook.

Ia mencatat bahwa liputan VOA yang terdiri dalam 48 bahasa telah menjangkau 360 juta orang setiap minggunya.

Salah satu pegawai VOA, yang meminta anonimitas, menggambarkan pengumuman pada Sabtu itu sebagai "contoh sempurna dari kekacauan dan ketidaksiapan proses ini," di mana staf VOA hanya bisa berasumsi bahwa siaran mereka dibatalkan, tetapi tidak mendapat pemberitahuan resmi.

Presiden Radio Free Europe/Radio Liberty, Stephen Capus, yang pertama kali mengudara ke negara-negara Blok Soviet selama Perang Dingin, menyebut penghentian pendanaan ini sebagai "hadiah besar bagi musuh-musuh Amerika."

"Para Ayatollah Iran, pemimpin Partai Komunis China, serta para otokrat di Moskow dan Minsk pasti akan merayakan kehancuran RFE/RL setelah 75 tahun," ujar  Capus dalam sebuah pernyataan.

Seorang pegawai Radio Free Asia mengatakan ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan. Ia mengatakan Radio Free Asia memiliki staf dan kontraktor yang berada di negara konflik yang kini cemas akan keselamatan mereka.

"Mereka kini khawatir akan keselamatan sendiri. Kami memiliki reporter yang bekerja secara diam-diam di negara-negara otoriter di Asia. Kami juga punya staf di AS yang khawatir dideportasi jika visa kerja mereka tidak lagi berlaku," ucapnya.

"Menghapus keberadaan kami hanya dengan goresan pena adalah sesuatu yang sangat mengerikan."

Kelompok advokasi Reporters Without Borders mengecam keputusan Trump ini. Kelompok itu menyatakan bahwa langkah tersebut "mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan meniadakan 80 tahun sejarah AS dalam mendukung arus informasi yang bebas."

(rds)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |